BUBARKAN BNPT !!! PEMBOROSAN ANGGARAN, TEBAR TEROR KE MASYARAKAT
( Oleh Faisal Sallatalohy )
Kembali berulah, BNPT mendesak seluruh masjid diambil alih, dikendalikan dan dikontrol pemerintah. Upaya ini diperlukan untuk mengantisipasi, mencegah dan meminimalisir ekstrimisme, radikalisme dan tindak teror di Indonesia.
Lewat usulan ini, BNPT telah menggiring opini dan menuduh Masjid sebagai sarang teroris yg perlu diawasi secara ketat.
Tentu saja usulan ini melampui batas kewajaran. BNPT terkesan kurang ajar. Asumsi masjid sebagai sarang teroris, sama halnya juga menuduh Islam adalah agama yg mengajarkan, membolehkan tindakan teror.
Sungguh sangat keterlaluan dan melecehkan. Melanggara konstitusi UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2): “Negara berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut kepercayaan dan keyakinannya itu”.
Sepanjang sejarah Indonesia, hanya BNPT satu-satunya lembaga yg berani menuduh masjid sebagai ruang terorisme yg harus dikendalikan dan diawasi pemerintah. BNPT seenak jidatnya bertindak melampui batas kewenangan, merasa seperti lembaga strategis yg bisa menentukan. Padahal secara ketatanegaraan, tidak punya legitimasi prinsip sebagai lembaga negara. Kapan saja bisa dibuabarkan.
Jika usulan BNPT diterima, maka makin memperburuk sejarah tiran, otoritarianisme kekuasaan yg etatisme. Mengontrol masjid sama halnya menebar teror kepada umat Islam agar tidak bebas menjalankan ibadahnya sebagaimana yg dijamin UUD 1945.
Dalam konotasi ini, BNPT telah cacat menggunakan kewenangannya secara berlebihan untuk merampas kebebasan beragama. Lantas disematkan lebel lembaga anti demokrasi. Menginjak-injak hak-hak masyarakat. Mengganggu dan merusak kebebasan beragama umat Islam secara sistematis.
Dengan menuduh Masjid sebagai sarang teroris yg perlu diawasi ketat pemerintah, sama halnya BNPT menempatkan Islam dan Masjid sebagai musuh negara yg harus dilumpuhkan. Jika direalisasikan, hal ini membuka peluang BNPT dan Pemerintah mengambil tafsir sendiri untuk dapat mengatur, menangkap, menutup bahkan merekayasa aksi teror di lingkungan masjid untuk kepentingan politik tertentu.
BNPT yg dikendalikan rezim Jokowi memang munafik. Asik meminta agar agama tidak dijadikan komoditas politik. Sebaliknya, justru mereka yg lakukan politisasi agama itu.
Buktinya, menuduh aktivis Islam ekstrimisme, membubarkan ormas dengan alasan radikalisme, menangkap dan membantai sederet ulama serta pihak-pihal yg dituding teroris. Tapi dibalik langkah otoriter itu, sampai hari ini, dilakukan secara sepihak, sulit dibuktikan. Melakukannya secara sepihak, hukum direkayasa tanpa ada pembuktian pasti.
Sederet peristiwa tersebut, menunjukan bahwa pemerintah dan BPNT lah yg intoleran, radikal dan teroris.
Perilaku otoriter ini, makin ke sini, makin menguatkan keyakinan publik untuk menjatuhkan kepercayaan terhadap pemerintah dan BNPT.
Maka wajar jika banyak pihak mendesak agar BNPT dibubarkan. Lembaga ini dinilai “tukang bikin gaduh”, digunakan sebagai alat politik kekuasaan untuk tebar teror, tebar ancaman demi merampas kebebasan beragama dan politik umat Islam.
Kooptasi kekuasaan inilah yg menjadikan peranan BNPT tidak sesuai tujuan hukum murni. Untuk itu, eksitensi BNPT tidak diperlukan lagi, tidak perlu dilanjutkan lagi.
Berkaitan dengan pemberantasan terorisme, terdapat tiga alasan yg mengukuhkan BNPT sebagai lembaga kontraproduktif:
Pertama, terorisme adalah gagasan imperialisme barat yg abstrak. There is no consensuss about terorisme. Tidak punya definisi baku. Konsep, motif dan tujuannya tidak jelas. Hanya diperuntukan sebagai alat untuk melumpuhkan kekuatan politik Islam secara global.
Lantaran ketidakjelasannya, isu terorisme di Barat hanya tinggal nama, sudah dimakamkan dan tidak lagi menjadi perhatian serius. Bahkan PBB yg dikendalikan Amerika sebagai pimpinan proyek terorisme dan islamophobia sudah mencanangkan regulasi global melawan gerakan Islamophobia tersebut.
Kedua, di Indonesia memang masih sering muncul aksi-aksi teror yg dilakukan sebagian kecil kelompok. Namun motifnya bukan dorongan ajaran agama. Karena tidak pernah bisa dibuktika negara secara empirik. Melainkan motif balas dendam akibat perilaku penindakan aparat yg abuse of power, berlebihan tidak manusia terhadap terduga teror. Kebanyakan terduga, selalu tewas ditembak. Tidak berikan kesempatan membela diri di pengadilan.
Akhirnya, proses hukum di pengadilan berjalan sepihak. Dikendalikan sesuai selera kekuasaan. Negara melawat mayat terduga teror. Pasti menang pemerintah.
Aksi aparat yg tidak manusiawi, memicu simpatik kerabat dekat untuk balas dendam. Maka diantara tempat yg rutin jadi sasaran teror, misalnya ledakan dan lone wolf lainnya adalah kantor polisi.
Bahkan banyak masyarakat meyakini, aksi teror yg masih berlangsung minor di Indonesia adalah rekayasa, peliharaan, binaan proyek teror global. Dicurigai sebagai drama buatan pihak tertentu “artificial terrorism”. Buktinya, sampai hari ini, negara dan BNPT tidak mampu menjelaskan dan merincikan satupun organ teror di Indonesia.
Ketiga, sejauh ini terorisme secara empirik tidak pernah terbuka dan terjelaskan dengan baik. Disamping daya rusaknya yg sangat rendah dibandingkan kasus korupsi yg memicu kemiskinan, ketidakadilan kebijakan yg melanggengkan kesenjangan sosial, kelaparan, stanting, wabah penyakit, angka bunuh diri, perceraian, rekayasa politik elit yg memicu konflik hingga masyarakat terbelah secara SARA.
Jika korupsi dengan daya rusak dahsyat saja diturunkan statusnya menjadi ordinary crime, maka tindak teror dengan daya rusak yg minim tetap harus dilenyapkan tapi tidak dengan status extra ordinary crime.
Dengan semua alasan tersebut, maka lembaga khusus seperti BNPT tidak lagi diperlukan. Dibubarkan saja secepatnya. Karena memang tidak ada kerjaannya.
Pintarnya kini, Ketika BNPT mulai kehilangan pekerjaan, mereka mulai cari-cari kerjaan. Lewat usulan pengawasan tempat ibadah dalam konteks “radicalism” dan “terrorism” tentu akan menyerahkan “leading sector” nya kepada BNPT.
Pertanyaannya, seberapa banyak tempat-tempat ibadah termasuk masjid di Indonesia ? Masjid saja hampir sejuta.
Sebanyak itulah pekerjaan atau proyek yang dapat dibuat proposalnya untuk ambil anggaran dari APBN.
Secara kelembagaan, BNPT adalah wujud pemborosan yang nyata. Kan sudah ada kepolisian yang mengatasi terorisme. Anggaran kepolisian tiap tahunnya di atas Rp 100 triliun. Misalnya RAPBN 2024 ditetapkan Rp 111 triliun. Dengan anggaran jumbo, polisi harusnya bisa maksimal atasi tindak teror. Tidak perlu ada BNPT untuk menambah pemborosan anggara negara.
Lantaran itu, Komisi III DPR perlu membahas pembubaran BNPT. Selama ini anggaran BNPT sangat besar. Di 2023 ini saja caoai Rp 431 miliar. Tapi tidak cukup efektif dalam mengatasi terorisme. Program deradikalisme juga hanya sebatas pengeluaran anggaran dan tidak ada follow up yang efektif.
Bukan saja BNPT, Densus juga tidak dibutuhkan. Mempertahankan eksistensi kedua lembaga ini, sama halnya pemerintah makin menguatkan keyakinan publik: bahwa pemerintah memang ingin melanjutkan pemborosan anggaran, membudayakan “artificial terrorism” atau terorisme buatan.
Lantaran peranan kedua lembaga tersebut, eksesnya, sampai hari ini rakyat sulit menemukan adanya terorisme alami, tindak teror karena motif agama, apalagi tempat ibadah, terutama masjid sebagai sarang teror.