HAPUS PERTALITE, IMPOR ETANOL 7% BEBAS CUKAI.
( Oleh Faisal Sallatalohy )
Pemerintah menyebut, peran kendaraan bermotor terhadap polusi udara Jabodetabek dan sekitarnya capai 37%.
Besarnya kontribusi buangan emisi kendaraan, dikarenakan mayoritasnya menggunakan BBM jenis pertalite (Ron 90). Masih sedikit kendaraan yg gunakan bahan bakar rendah emisi, Pertamax (Ron 92)
Tercermin dari data Kementrian ESDM: konsumsi pertalite di sektor transportasi sepanjang 2022 capai 29,68 juta kilo liter. Sementara pertamax hanya 5,77 juta kilo liter.
Merespon besarnya pengaruh buangan emisi kendaraan terhadap polusi udara, pemerintah dan pertamina merencanakan penghapusan pertalite. Kendaraan dipaksa beralih ke pertamax 92 di awal 2024.
Rencana ini juga mengikuti desakan pihak global terkait penerapan standar Euro IV. Berkaitan dengan isu lingkungan hidup, minimalnya, kadar oktan BBM yg digunakan adalah Ron 92.
Produksi pertamax 92 dilakukan dengan cara menambahkan etanol 7% (E7) ke dalam BBM pertalite 90.
Artinya, pemerintah dan Pertamina butuh banyak etanol 7% untuk menaikan dua kadar oktan dari Ron 90 ke Ron 92.
Pertanyaannya, memangnya Indonesia, terutama Pertamina punya kesanggupan siapkan etanol E7% sesuai kebutuhan produksi pertamax ?
Data kementrian ESDM mencatat, kuota penyediaan etanol 7% oleh negara, terutama Pertamina hanya sanggup untuk memenuhi kebutuhan produksi sebanyak 5,77 juta kilo Liter pertamax 92 sepanjang 2022. Itupun sebagian kecilnya diimpor Pertamina dari luar.
Sementara itu, APBN 2023 mencatat, kuota konsumsi BBM pertalite 2023 ditetapkan 23 juta kilo liter.
Kalau pertalite dihapus dan jumlah pengguna sebanyak itu dialihkan ke pertamax, dari mana kebutuhan etanol 7% untuk produksi pertamax sebanyak 23 juta kilo liter diperoleh ?
Untuk kebutuhan produksi pertamax 5,77 kilo liter saja, etanolnya masih harus impor. Lalu bagaimana lagi dengan produksi pertamax untuk tambahan migrasi kebutuhan 23 juta kilo liter ? Mau tidak mau, impor etanol harus dinaikan.
Rencana kenaikan impor etanol 7% untuk dukung migrasi pertalite ke pertamax sudah dijawab dirut Pertamina, Nicke Widyawati.
Bahkan dia meminta kepada kementrian Keuangan menghapus Bea Impor-masuk Etanol untuk mendukung kebijakan penghapusan pertalite dan diganti pertamax green 92.
Di sinilah letak “kedunguan” pemerintah. Ngotot lahirkan kebijakan tanpa memperhatikan, pertimbangan inward looking dan threat spesific. Potensi kebijakan ini pasti makin merusak kedaulatan dan ketahanan energi nasional khusus BBM. Diserbu etanol impor, APBN jebol, end user price makin memiskinkan masyarakat.
Ambisi menaikan standar BBM untuk mereduksi polusi udara adalah hal positif. Namun harus mempertimbangkan kesanggupan dan daya dukung internal.
Impor etanol untuk kejar produksi pertamax 92 di atas kuota 23 juta kilo liter itu bukan jumlah sedikit. Resistensinya adalah jebolnya APBN bayar impor.
Dalam kaitan ini, potensi beban APBN bukan cuma sekedar peningkatan biaya impor etanol. Bahkan pertalite sebagai bahan baku yg akan diolah menjadi pertamax 92 pun mayoritasnya impor.
Sudah diterangkan sebelumnya, produksi pertamax dilakukan dengan cara mencampur etanol ke dalam pertalite. Sementara untuk memenuhi kebutuhan pertalite, sekitar 65% juga di-impor.
Jumlah itu diperoleh dari total impor pertalite 2022 capai 15,11 juta kilo liter ÷ 23 juta kilo liter kuota APBN x 100 = 65% (Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022, ESDM)
Artinya, lebih dari separuh kuota pertalite nasional berasal dari barang impor.
Selama ini, untuk menanggung impor pertalite saja, pemerintah mengeluhkan APBN jebol. Akhirnya subsidi BBM dipangkas habis, Pertamina jual Rugi. Solusinya cabut subsidi BBM secara penuh. Hanya sisahkan kompensasi untuk wilayah penugasan.
Lalu kenapa sekarang malah ditambah lagi dengan impor etanol yg sedemikian besar ?
Pastinya, kebijakan impor pertalite dan etanol untuk dukung produksi pertamax menjadi kabar gembira bagi swasta asing dan mafia pemburu rente impor migas.
Pemerintah beri “cuan” dadakan ke mereka. Bisa jadi mereka bagian dari jaringan pemodal-oligarki yg mengendalikan kekuasaan. Maklum, momennya tahun pilpres 2024. Semua pihak Berburu dana politik.
Dari pada sibuk ngakalin kebijakan untuk rampok APBN lewat impor etanol, lebih baik diteliti kembali sumber-sumber polusi. Dilakukan secara transparan agar publik percaya. Jangan langsung main nuduh sepihak, transportasi penyebab utama dan Pertalite wajib dihapus.
Masih banyak sumber polusi lain. Misalnya pabrik swasta besar, PLTU milik modal swasta asing besar yg cacat prosedural AMDAL. Atau perbaiki kembali ruang terbuka hijau Jakarta yg saat ini hanya 5,19%, jauh dari angka minimal 30%.
kenapa pemerintah juga tidak tunduk kepada putusan pengadilan. Bukankah Jokowi dan 4 menterinya sudah diputuskan bersalah sampai tingkat banding di PN Jakpus atas tercemarnya kualitas udara Jakarta.
Kenapa Jokowi tidak legowo menerima, bahkan masih ajukan kasasi. Kenapa tidak terima, dikaji dengan baik keputusan hakim, lalu perbaiki semua kesalahan ?
Kenapa malah ngotot hapus pertalite seolah-olah kendaraan bermotor satu-satunya sumber yg salah ?
Bahkan saking semangatnya pemerintah salahkan kendaraan bermotor berbahan fosil, dibarengi dengan giatnya promosi kendaraan listrik. Prinsipnya batre. Sumbernya listrik. Diproduksi PLN. Sementara pembangkit PLN, mayoritasnya 54,44% didominasi PLTU berbahan bakar batu bara. Sumber polusi terbesar (Statistik PLN 2022: 03001-230526)
Artinya, migrasi ke kendaraan listrik, justru akan makin meningkatkan polusi udara. Kebijakan bahlul !!!
Kaji dengan baik semua sumber masalah. Jujur kepada rakyat. Sambil perkuat kebutuhan etanol dalam negeri. Lalu perbaiki sistem produksi minyak termasuk pertalite sebagai bahan baku produksi pertamax 92.
Dengan begitu, saat nnti hapus pertalite, maka Pertamina tidak perlu lagi impor etanol dan pertalite untuk produksi pertamax92.
Saat ini produksi minyak termasuk pertalite nasional sangat lemah. Makanya impor. Masalahnya, 84% dikuasai swasta dan asing dengan pola kontrak B to G dengan skema PSC basis cost recovery dan gross split yg korup, merugikan negara.
Rakyat pasti setuju dan mendukung kebijakan energi ramah lingkungan. Asalkan pemerintahnya tidak rutin berbohong, korup dan punya moral.