Horeee…kabar gembira.. Pemerintah dan DPR akhirnya sahkan RUU Kesehatan menjadi UU dalam rapat paripurnah
( Oleh Faisal Sallatalohy )
Horeee…kabar gembira.. Pemerintah dan DPR akhirnya sahkan RUU Kesehatan menjadi UU dalam rapat paripurnah. Senyap tapi pasti. Dibalik polemik Al-Zaitun renovasi JIS, LGBT dsb, pemerintah dan DPR diam-diam mengesahkan aturan yg digodok dengan metode omnibus Law sejak Agustus 2022.
Tidak peduli. Meskipun mendulang banyak kritikan dari rakyat Indonesia, aturan yg mencerminkan prosedural otoriter dan substansi materil yg liberal ini, tetap disahkan.
Dari naskah RUU dan daftar inventarisasi masalah (DIM) yg diposting di web DPR RI, terlihat aturan yg dibuat dengan metode omnibus ini mensimplifikasi 10 UU terkait bidang kesehatan.
Dari 478 pasal yg dimasukan dalam RUU ini, total DIM pada batang tubuh sebanyak 3020. Terdiri dari 1037 tetap, 399 perubahan redaksional dan 1584 perubahan substansi.
Masalahnya, DIM yg dibahas sejak Agustus 2022 dan baru diketahui publik sekitar Maret 2023, ternyata tidak melibatkan organisasi profesi (OP) secara menyeluruh diantaranya IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI.
Artinya, proses legislasi dalam pembentukan RUU Kesehatan berjalan senyap, tertutup, kucing-kucingan tanpa melibatkan partisipasi publik yg bermakna. Bahkan dari kelompok profesi di bidang Kesehatan itu sendiri. Pola ini sangat mirip dengan apa yg terjadi pada UU Cipta Kerja.
Hal ini menunjukan, prosedural pembentukan aturan baru ini berpola “top down”, otoriter. Pemerintah dan DPR bermufakat, bernegosiasi sepihak lalu memaksa rakyat patuh dan menurut. Enak saja !!!
Prosedural yg cacat kontitusional ini, berlawanan dengan “asas keterbukaan”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g UU P3 UU No.13 Tahun 2022 yg menyebut:
“pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan, memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yg dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring dan/atau luring”
Partisipasi publik yg bermakna sangat penting untuk menjamin hasil undang-undang yg memenuhi rasa keadilan (social justice) dan perlindungan kesehatan publik.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUUXVIII/2020, partisipasi publik bermakna tak sebatas pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Melainkan juga menguji sejauh mana pemerintah mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).
Bahkan bila tidak diakomodasi, masyarakat berhak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yg diberikan (right to be explained).
Hal demikian, tidak dilakukan oleh pihak pemerintah maupun DPR dalam merumuskan RUU Kesehatan. Jelas otoriter !!!
Secara substansi materil, rancangan aturan ini cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan, memperluas privatisasi, komersialisasi dengan tujuan menjadikan layanan kesehatan, termasuk tenaga medis sebagai komoditi bisnis tanpa subsidi.
Terlihat dari penghapusan Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yg mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik.
Namum dalam draft RUU Kesehatan versi pemerintah, tepatnya pada pasal 420 ayat 2 dan 3, ketentuan tersebut telah dihapus. Sementara dalam draf versi DPR, lebih miris lagi, alokasi anggaran minimal yg dihapus jadi 10% dari APBN dan 10% dari APBD.
Mencabut ketentuan alokasi anggaran kesehatan dari APBN dan APBD, sama halnya dengan memutus tanggung jawab negara membiayai layanan kesehatan. Kasarnya, mencabut subsidi kesehatan.
Padahal alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan adalah hasil reformasi yg sudah lama diperjuangkan masyarakat. Namun kini, pemerintah dan DPR menghapusnya begitu saja.
Dengan dihapusnya kewajiban alokasi anggaran kesehatan dari negara, lalu siapa yg akan menjamin pembiayaan ?
Pada titik inilah, kita akan mengerti watak neoliberal pemerintah. Sengaja memutus alokasi dari negara, lalu membuka kesempatan modal swasta memperluas dominasi dan kendali atas layanan kesehatan.
Konsekuensinya: Rumah sakit, unit farmasi, layanan pendidikan kesehatan, pendidikan dokter, bahkan sertifikasi tenaga medis akan dikendalikan modal swasta. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator yg tugasnya cuma menerbitkan izin bisnis kepada pihak swasta.
Investor swasta mana yg akan dipilih pemerintah dan DPR ? Pastinya investor yg banyak jasanya bagi partai penguasa yg mengendalikan DPR dan Presiden. Atau investor yg berani menawar kolusi dan korupsi paling besar untuk pemerintah dan DPR.
Becanda saya…hehehehe….
Singkatnya, pencabutan alokasi anggaran kesehatan dari APBN dan APBD, sama halnya dengan pemerintah memaksa rumah sakit, unit farmasi dan seluruh elemen terkait membuka dan menjual diri untuk dibeli, kendalikan modal “para bandar”.
Kita tau, tanpa subsidi, masyarakat pasti disengat pola layanan bisnis dan industrial swasta yg cenderung mahal serta memiskinkan masyarakat.
Satu hal yg pasti, bahwa model perluasan swastanisasi dan komersialisasi yg dirancang dalam RUU kesehatan ini, merupakan permintaan para investor yg tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) kepada pemerintah pada akhir 2021 lalu.
Secara terbuka, KADIN mendesak pemerintah-DPR bentuk UU Omnibu Law Bidang Kesehatan untuk meruntuhkan sejumlah hambatan, menjamin kepastian hukum dan bisnis yg kompetitif dalam merespon rendahnya investasi asing di sektor tersebut.
Menyusul permintaan KADIN, pada 8 Juni lalu, pemerintah lewat Kemenkes Bahkan sudah mendahului penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan The Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF) untuk agenda transformasi pelayanan kesehatan yg melibatkan sektor swasta secara lua
Dengan mengandalkan peranan modal swasta, mungkin saja efektif mendatangkan “uang banyak” untuk mengkselerasi layanan serta infrastruktur kesehatan di seluruh wilayah, terutama wilayah 3T.
Tapi masalahnya, prinsip privatisasi, komersialisasi bisnis dan industrial total tanpa subsidi, justru akan memukul masyarakat dengan biaya akses layanan kesehatan yg mahal dan memiskinkan. Memicu ketimpangam dan masalah sosial-ekonomi lainnya.
Itulah mengapa, bila RUU ini disahkan, maka pihak yg paling dirugikan adalah kelompok miskin, penyandang disabilitas, kelompok rentan termasuk perempuan dan anak, serta kelompok masyarakat, bukan saja di daerah 3T, tapi juga di wilayah-wilayah lainnya.
Demi mewujudkan arogansi pelaksanaan swastanisasi dan komersialisasi layanan kesehatan, secara materil, RUU kesehatan menyertakan pengaturan yg menjamin absolutisme kekuasaan serta kendali layanan kesehatan kepada kementrian kesehatan secara mutlak. Peran serta masyarakat dan organisasi kesehatan diamputasi.
Melalui DIM 153 Pasal 14 A, pemerintah menghapus tuntas tak bersisa lembaga mandiri dan otonom, meliputi Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Kolegium, Organisa Profesi (OP) tenaga medis dan kesehatan.
Semuanya dikikis tak ber-ampas. Hendak diganti dengan lembaga baru bentukan Menkes. Tanpa peran serta masyarakat dan organisasi kesehatan, peran dan fungsi kontrol masyarakat serta organisasi kesehatan lenyap. Termasuk evalusasi, transparansi dan akuntabilitas ke publik juga pasti lenyap.
Dalam kaitan ini, saya berani menyebut, bahwa dari DIM 153 dan segenap DIM turunannya, Menkes hendak menjadi institusi Konsil a.k.a KKI. Menkes juga hendak merampas peran MKDKI sebagai yudikatif badan peradilan disiplin medis.
Bahkan Menkes hendak menjadi lembaga peninjauan kembali (“PK”) peradilan disiplin, yang disamarkan dengan frasa “pemeriksaan pengaduan”. Menkes ber-nafsu merambah ranah yudikatif disiplin tenaga medis/ kesehatan.
Bahkan dengan Pasal 14A itu terus berlanjut dengan puluhan DIM yang menghapuskan Kolegium. RUU ini juga ngotot menghapus OP sebagaimana tercantum pada DIM 37 Pasal 1 Angka 37.
Sungguh, absolutisme kekuasaan dengan level otoritarianisme di luar batas wajar. Arogan dan rakus kekuasaan. Menkes bisa seenak jidatnya kendalikan layanan kesehatan dengan regulasi yg menghindarkannya dari pengawasan, evaluasi dan kritikan publik secara langsung.
Sebagai negara hukum demokratis (democratische rechstaat, vide Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), absolutisme kekuasaan RUU kesehatan harus cegah. Tidak boleh disahkan menjadikan UU.
Banyak potensi ekses negatif yg akan menimpa layanan kesehatan nasional. Bukan hanya memberi ekses absolutisme kekuasaan untuk memperluas privatisasi dan komersialisasi layanan yg terhindar dari pengawasan dan evaluasi publik secara langsung saja, melainkan juga dapat mengancam kesehatan dan keselamatan rakyat.
Misalnya, lewat DIM 153 pasal 14 A yg menghapus IKI. Selanjutnya peran IKI diserahkan kepada Menkes, termasuk pembuatan STR. Bahkan DIM 153 dan segala DIM turunannya, turut menghapus peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi STR.
Disusul ketentuan yg merubah penerbitan STR menjadi sekali seumur hidup dari yg awalnya 5 tahun sekali. STR seumur hidup membuat tidak ada evaluasi terhadap dokter dan tenaga medis yg biasanya dilakukan dalam perpanjangan STR setiap 5 tahun sekali.
Padahal penilaian reguler itu akan mengkaji kembali mutu dan kompetensi dokter meliputi pengetahuan, psikomotorik, serta etika mereka. Ketiadaan evaluasi ini tentu saja sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan rakyat.
Aturan ini juga mempermudah masuknya dokter asing tanpa syarat administrasi kelayakan, kompetensi serta penguasaan bahasa Indonesia. Untuk bisa praktik di Indonesia, dokter asing cukup menunjukan portofolio yg menunjukan pengalaman praktik selama 5 tahun.
Dokter asing Tidak perlu memenuhi syarat keabsahan ijazah, cek kesehatan fisik-mental, serta tidak perlu memenuhi ketentuan etika profesi sebagaimana yg dimanatkan dalam UU No. 36 tahun 2014.
Lalu bagaimana caranya Menkes dapat memberi jaminan ke masyarakat, kalau dokter asing yg diberi izin prakti tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia ?
Menkes adalah pihak yg memegang hak mutlak untuk menjamin masuknya dokter asing. Menkes pula yg berhak menerbitkan STR dan SIP mereka. Padahal, sebelumnya, dalam UU No 36 Tahun 2014 diterbitkan oleh IKI. RUU kesehatan melarang campur tangan organisasi kesehatan ikut campur dalam proses masuknya dokter asing sebagaimana tercantum dalam pasal 233 sampai 241 RUU kesehatan.
Dibawah kendali Menkes, pekerja asing juga dimanjakan dengan hanya sekali diterbitkannya STR serta SIP dan berlaku selamanya. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam UU 36 Tahun 2015, penerbitan STR dan SIP pekerja asing hanya berlaku 1 tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 berikutnya.
Pengaturan seperti ini, jelas mempermudah dokter asing masuk dan praktik di Indonesia. Namun anehnya, tidak dibebankan syarat penguasaan bahasa Indonesia. Lalu bagaimana mereka bisa berbicara dengan pasien, apakah harus ada penerjemah ?
Substansi materil RUU kesehatan yg memiliki banyak kecacatan, kontraproduktif, menunjukan aturan ini memang dibuat secara serampangan, tergesa-gesa demi memenuhi ambisi penegakan privatisasi dan komersialisasi.
Wajar, karena sejauh ini, RUU Kesehatan Omnibus Law dibuat tanpa ada naskah akademiknya. Artinya tidak ada rasionalisasi ilmiah yg menjelaskan apa dasar filosofis, yuridis, dan sosiologisnya.
Lagi-lagi dasarnya “aji mumpung”. Mumpung masih berkuasa, mumpung masih ada jabatan, mumpung masih bisa bergerombol membentuk jaringan oligarki, mumpung masih bisa metik untung dari proses kolusi sebagai imbal jasa penuhi kepentingan investor lewat regulasi pesanan.
Itulah mengapa Indonesia disebut sebagai Flawed Democracy, negara cacat demokrasi dalam peringkat global Economics Inteligent Units 2023. Ditunjang indeks persepsi korupsi paling buruk di dunia diperingkat 111 mendekati 33 poin.
Bahkan The Economist kembali mendaulat indonesia di peringkat 9 crony capitalisme index 2023. Artinya, Indonesia masuk 10 besar negara dunia yg sistem pemerintahan dan politiknya, brutal dikendalikan investor swasta dan pejabat pemerintahan untuk kepentingan rent seeking.
Investor memberi suap. Oknum pemerintahan membuka diri menerima suap. Terjadilah transaksi yg melahirkan green corruption. Korupsi regulasi dan kebijakan. Boleh jadi, fenomena ini juga yg mendasari proses legislasi RUU kesehatan saat ini.
Memalukan !!!