Oleh Fasial Lohy
Terkait konflik penggusuran lahan Pulau Rempang, masyarakat banyak menaruh perhatian pada Tomy Winata dan Xinyi Group.
Ada dalang lain yg lebih berpengaruh. Ada ambisi bisnis lain yg lebih rakus: ambisi pembangaunan PLTS TBS Group milik Luhut Binsar Panjaitan dan Adarao Group milik keluarga Erik Tohir.
Luhut dan Erick adalah Dua menteri kabinet Jokowi yg memainkan peranan penting di balik tragedi perampasan lahan warga pulau rempang.
Informasi dari Istana menyebutkan, sebelum tanggal 28 Juli 2023, Luhut berkunjung ke Singapura dalam rangka menindaklanjuti rencana pembelian listrik dari Indonesia.
Pulangnya, Luhut marah-marah lantaran Singapura hanya mau membeli listrik tenaga Surya (PLTS) dengan syarat PLTS-nya dibangun oleh Singapura di Indonesia.
Wajar Luhut marah-marah. Karena Singapura hanya mau membeli listrik tenaga Surya yg pembangkitknya masih minim di Indonesia. Keinginan Singapura itu juga berlawanan dengan kepentingan bisnis Luhut yg lewat perusahan pribadinya hanaya mampu membangun PLTU, bukan PLTS.
Setelah melalui serangkaian upya negosiasi, akhirnya dicapailah kesepakatan. Luhut mewakilkan 3 perusahan dalam perjanjian bisnis listrik tersebut: TBS Group milik Luhut, Adaro Energi milik Keluarga Erik Tohir yg dipimpin kakaknya Boy Tohir dan Medco Group Milik Salim Group-Keluarga Paniogoro.
Tiga perusahan inilah yg dalam perjanjian bersama pihak Singapura dijadikan sebagai perwakilan konsorsium Indonesia yg akan memproduksi listrik PLTS untuk diekspor ke Singapura melalui jaringan kabel bawah laut.
Sementara dari pihak Singapura, perusahan yg terlibat adalah Cepel Corporation. Perusahan ini bertanggung jawab mengurus distribusi listrik dari Indonesia ke Singapura lewat penyediaan jaringan kabel bawah laut.
Masalahnya adalah, 3 perusahan yg mewakili konsorsium Indonesia, tidak memiliki cukup modal, kompetensi dan pengalaman bangun PLTS. Inilah alasan Luhut dan Erik Tohir, gunakan jasa Loby Tomy Winata untuk mendesak keterlibatan Xinyi Group China.
Pada tanggal 28 Juli 2023, Xinyi Group bersedia kerjasama lewat penandatanganan MOU di Chengdu. Di pilihalah Pulau Rempang yg memang memiliki sumber daya pasir kuarsa dan kandungan silika yg potensial.
Peran Xinyi Group adalah mengembangkan Industri Pasir Silika yg dipisahkan dari kuarsa untuk dijadikan sebagai alternatif bahan baku lempengan sel panel surya. Prosesnya, Pasir silika dicairkan dan dimurnikan untuk menjadi wafer yg selanjutnya akan menjadi solar panel fotovoltaik.
Selanjutnya, panel surya fotovoltaik berfungsi menyerap dan mengkonversi energi matahari atau cahaya menjadi energi listrik. Jadi boleh dikatakan, komponen utama PLTS adalah panel surya fotovoltaik.
Selain itu, Xinyi Group juga berperan membangun industri kaca yg dibutuhkan sebagai salah satu komponen vital panel surya. Kaca dibutuhkan sebagai reflectror untuk metode pengoptimalan sel surya.
Sejauh ini, dalam pengembangan PLTS di Indonesia, kebutuhan tekhnologi panel surya fotovoltaik, masih dimpor dari China, salah satunya dari Xinyi Group. Oleh karena itu, Luhut dan Erik mendesak keterlibatan Xinyi Group untuk pengembangan panel surya dengan memanfaatkan sumber daya pasir silika Pulau Rempang.
Selanjutnya, Xinyi Group memasok panel surya Fotovoltaik tersebut kepada pembangkit PLTS yg dibangun TBS Group, Adaro, dan Medco Group untuk produksi listrik yg akan dijual ke Singapura. Jadi nampak jelas, konflik perampasan lahan Pulau Rempang adalah rekayasa ambisi bisnis Luhut, keluarga Erik Tohir, Salim Group dan keluarga Paniogoro.
Baca Juga : TIDAK PERLU PAKAI ALAT, SATU ANGGOTA MITING SATU WARGA, SELESAI ITU !!!
Adapaun Tomy Winata adalah tangan untuk mempermudah negosiasi ke China. Sementara Xinyi Group adalah tamu yg akan membantu ketidakmampuan bisnis pribadi Luhut, Erick Tohir dan kolega dalam pembangunan dan pengembangan panel Surya PLTS.
Artinya, boleh dikatakan awal mula gagasan Proyek Rempang Eco-City merupakan desakan ambisi bisnis Luhut, Erick dan kolega lokal. Dua menteri Jokowi ini adalah dalang utama dibalik perampasan lahan Warga Pulau Rempang.
Orientasinya bukanlah menjadilan Pulau Rempang sebagai pusat pengembangan indutrialisasi, bisnis dan pariwisata untuk kemajuan ekonomi masyarakat lokal. Melainkan untuk suksesi kepentingan bisnis dua menteri Jokowi beserta kolega serta Xinyi Group China dan Capel Corporation Singapura.
Jadi Rempang Eco-City hanyalah judul. Substansinya tetap kepentingan bisnis oligarki global dan lokal yg memanfaatkan jabatan kekuasaan sebagai fasilitas suksesi bisnis.
Pantas saja, pemerintah dan aparat sangat all out mengerahkan kekuatan dengan pola otoriter merampas lahan, memaksa warga kosongkan lahan. Bahkan di-ultimatum Pulau Rempang Harus Kosong tgl 28 September.
Rakyat ditipu, diinjak, haknya dirampas, sumber daya energi baru terbarukannya dimanipulasi untuk kepentingan bisnis elit.
Bangsatnya lagi, orientasinya bukan untuk penuhi kebutuhan listrik warga lokal, melainkan untuk penuhi perjanjian bisnis dengan Singapura, menambah kekayaan pribadi, dieskpor-dijual untuk menerangi kehidupan warga Singapura.