Oleh Faisal Lohy
Penandatangan MOU Xinyi Group China dan Menteri investasi Bahlil Lahadalia, menetapkan batas waktu penyerahan lahan Pulau Rempang secara “clean and clear” 30 hari.
Xinyi mendesak, pelaksanaan pembebasan lahan rampung pada 28 September mendatang. Artinya, pemerintah hanya punya waktu kurang dari 2 minggu untuk memaksa warga mengosongkan lahan Pulau Rempang.
Namun kenyataan menunjukan, rumit bagi pemerintah memenuhi dedline waktu yg didesak Xinyi Cina. Masyarakat melawan. Relokasi memicu bentrokan, memperlambat proses pengosongan lahan. Kenyataan ini direspon Group Xinyi Cina dengan sinyal: ancaman mencabut kesediaan investasi di Pulau Rempang, Galang dan akan mengalihkan investasinya ke wilayah Johor Malaysia.
Sinyal dan peluang hengkangnya Xinyi ke Malaysia disampaikan Sekretaris Kemenko Perekonomian, Sisiwijono Moegiarso. Menurutnya, pada Kamis 14 September kemarin, Pihak Xinyi Group mendatangi kantor Kemenko Perekonomian, menanyakan dinamika perlawanan warga Pulau Rempang dan progres upaya pengosongan lahan.
Baca Juga : KONFLIK PROYEK ECO-CITY REMPANG-BATAM: ANTARA KORUPSI TOMY WINATA & DESAKAN INVESTOR CINA
Susiwijono menyatakan, pihak Xinyi sangat sensitif dengan kerasnya perlawanan warga. Apalagi perlawanan tersebut telah berkembang menjadi isu ras dan agama (Melayu-Islam) sehingga perlawanan rakyat diperkirakan akan sulit meredah.
Merespon sikap Xinyi Group, Pemerintah khawatir hal itu akan berpengaruh pada kelanjutan investasi raksasa pabrik solar panel tenaga listrik tersebut.
Apalagi, saat ini, Xinyi Group juga tengah mempertimbangkan permintaan investasi sejumlah negara tetangga. Salah satu yg paling getol adalah Malaysia.
Penolakan berujung bentrokan Pengosongan Lahan Pulau Rempang, menjadi kesempatan baik bagi PM Malaysia, Anwar Ibrahim yg akhir-akhir ini sangat agresif merayu group Xinyi untuk memindahkan investasi ke Johor. Anwar Ibrahim sangat tergiur dengan tawaran nilai investasi Jumbo Xinyi di Pulang US$11,6 miliar, setara Rp175 triliun.
Kecemasan ini disampaikan pihak kementrian koordinator Perekonomian, lantaran Xinyi Group sedang dalam situasi genting perluasan investasinya ke luar Cina. Mereka tidak bisa menunggu terlalu lama untuk pengosongan lahan Pulau Rempang.
Xinyi Group perlu segera membangun bisnis di Pulau Rempang untuk mengantisipasi ketegangan politik dan perdagangan Cina dengan Amerika. Hingga hari ini, industri-industri besar Cina sangat khawatir hadapi wacana Amerika melarang impor segala produk China yg berpotensi menghambat bisnis Xinyi Group.
Pertemuan BRICs+ di Johanes Burg Agustus kemarin makin menaikan tensi geopolitik Amerika terhadap Cina dan Rusia. Pergulatan perang argumentasi dan sikologisnya makin keras bergulir. Amerika keluarkan ultimatum akan menutup semua impor dari China pada 2025 mendatang.
Inilah alasan utama Xinyi China medesak pemerintah Indonesia melakulan percepatan pengosongan lahan Pulau Rempang dalam waktu singkat 30 hari. Mereka harus segera membangun basis produksi baru ber-skala masif sebagai alternatif.
Merespon desakan tersebut, pemerintah bertindak layaknya jongos-babu yg secara dadakan, grasa-grusu menabrak semua ketentuan demi mempercepat perampasan lahan warga untuk diserahkan ke Xinyi Group.
Wajar pemerintah takut kehilangan investasi Jumbo China. Kapan lagi dan dari mana lagi pemerintah bisa dapatkan komitmen investasi dengan nilai Rp 170 triliun dalam 5 tahun dan akan berkembang jadi Rp 381 triliun untuk keseluruhan pengembangan proyek ?
Jumlah yg sangat fantastis. Kesempatan seperti ini sangat sulit didapatkan.
Wajar pemerintah begitu ngotot menabrak semua aturan, terutama regulasi pertanahan nasional demi memastikan pengosongan lahan dalam waktu singkat, hanya 30 hari.
Bayangkan. 17.000 hektar lahan meliputi 16 Kampung Tua, 2.600 rumah tangga, hampir 10.000 orang, pembebasan lahan dan relokasi hanya 30 hari ?
Hampir mustahil, menunjukan ketidakwarasan pemerintah. Kemurnian akalnya benar-benar terturup lembaran uang kertas.
Bagaimana proses clear and clear dapat berjalan hanya 30 hari dengan tingkat kerumitan seperti itu ?
Tapi karena tidak ingin kehilangan investasi Jumbo China, pemerintah optimis mampu memenuhi ketentuan investasi terkait syarat pengosongan lahan yg dipaksakan China. Pemerintah paksakan cara-cara otoriter dan melawan hukum. Hilang akal sehat. Gunakan kekerasan, merekayasa kebijakan, menipu rakyat, kerahkan aparat menindas rakyat.
Hitungan hari pasca penandatangam MOU di Chengdu-China, Jokowi perintahkan Menko Perekonomian, Airlangga Hartato keluarkan Permen No 7 Tahun 2023 tentang perubahan Daftar PSN. Pulau Rempang dipaksa Masuk dalam daftar PSN.
Beberapa harin kemudian, Jokowi perintahkan Menteri Agraraia, Hadi Tjahjanto keluarkan SK HPL sementara-bersyarat kepada BP Batam. Selanjutnya, BP Batam melimpahkan penguasaan dan pemanfaatan lahan kepada PT MEG milik Tomy winata. Selanjutnya, Xinyi Group bekerja sama dengan PT MEG untuk kerjakan Proyek di atas lahan dimaksud. Proyeknya diberi nama Rempang Eco-City.
Dari kronologi tersebut, sesungguhnya kontrusksi hukum investasi Rempang Eco-City cacat, tidak punya alas hukum yg sah terkait pembebasan lahan Rempang.
Pertama, BP Batam belum memiliki Sertifikat HPL yg diterbitkan Kementrian Agraria. BP batam hanya baru mengantongi SK sementara. Penerbitan SK bersyarat itupun hanya untuk 600 ha lahan Pulau Rempang.
Ingat, SK Sementara tidak bisa menjadi alas hukum bagi BP Batam paksa warga kosongkan lahan. Harus dipenuhi syarat clean and clear dengan warga dulu. Setelah semua syarat dipenuhi, terbit Sertifikat HPL, baru BP Batam bisa perintahkan warga kosongkan lahan.
Kenyataannya, belum kantongi sertifikat HPL, BP Batam udah paksa warga kosonglan lahan. Jelas melanggar hukum !!!
Dalam SK sementara, BP Batam hanya kuasai 600 ha lahan pulau Rempang. Sementara dalam perencanaan Proyek, disebutkan kebutuhan lahan 17.000 ha yg dimanfaatkan.
Pertanyaannya, 16.400 ha lahan sertifikatnya HPL-nya mana ? Bukannya SK sementara BP Batam, lahan yg dikuasai hanya 600 ha ? Lalu sisa kebutuhan lahan pakai Seritifikat HPL dari mana ?
Berikutny, dari total 17.000 ha kebutuhan lahan Eco-City, 7.500 ha lahan diperuntukan untuk proyek PT Gorup Xinyi. Pertanyaanya, tanah yg dikuasi BP Batam lewat penerbitan SK sementara hanya 600 ha, lalu mines 6.900 ha (600 ha – 7.500 ha = 6.900 ha), SK HPL-nya mana ?
Kedua, dari 17.000 ha lahan dimaksud, SK sementara yg dikantongi BP Batam hanya 600 ha. Selebihnya, 16.400 ha itu lahan hutan. Secara hukum tidak bisa diterbitkan HGU-nya.
Artinya, pelaksanaan Proyek Rempang Eco-City adalah bentuk izin pemerintah kepada BP Batam, PT MEG dan Nxinyi Group membangun proyek tanpa HGU di lahan hutan Pulau Rempang.
Selanjutnya, ada yg keliru soal kesepakatan pemanfaatan lahan untuk proyek “Rempang Eco-City”. Ini jelas melanggar kesepakatan proyek BP Batam, Pemkot dan PT MEG di tahun 2004. Rekomendasi DPRD adalah untuk Kawasan Wisata Terpadu Eklsusif (KWTE) tanpa relokasi penduduk Kampung Melayu Tua.
Kenapa sekarang mendadak yg disiapkan adalah Proyek “Rempang Eco City” ? Kesepkatannya apa, eksekusinya apa ?
Perubahan perencanaan proyek wajib dibarengi penerbitan perizinan baru termasuk amdal dan feasibility study tersendiri.
Jika tanpa perubahan izin, alias masih tetap menggunakan izin lama, maka PT MEG adalah perusahaan yg cacat hukum untuk beroperasi di Rempang.
Catatan pentingnya, di atas tumpukan perilaku melanggar hukum tersebut, PT MEG 2004 dahulu telah gagal merealisasikan proyek. Menggantung 18 tahun lamanya.
Bahkan terindikasi telah melakukan perbuatan korupsi atas perizinan di tahun 2004. Terungkap di tahun 2007 merugikan negara Rp 3,1 trilyun. November 2008, Tomy diperiksa Bareskrim Polri. Tapi setelah itu, kasus ini lenyap. Ga ada lanjutannya.
Kini dengan kekuatan uang Tomy dan ratusan triliun rayuan investasi China, pemerintah menjadikan para “perompak” itu sebagai raja. Keinginan “sang raja”, dijalankan pemerintah secara arogan dengan cara merampas dan mengorbankan hak-hak konstitusional masyarakat Pulau rempang yg banyak jasanya terhadap kemerdekaan.
Inilah kaca mata otoriter kekuasaan. Memaksakan cara-cara arogan demi keperluan investasi. Pelanggaran hukum menjadi solusi legal.
Terpentingnya, hari makin mendekati tanggal 28 September. Xinyi Group telah memberikan sinyal akan mencabut komitmen investasi jika persoalan pembebasan lahan tidak selesai sesuai waktu yg ditentukan.
Kenyataan ini membuat pemerintah makin arogan menindas rakyat, mendesak pengosongan lahan. Kenyataan di lapangan seperti itu. Sampai hari ini, tingkah laku biadab pemerintah dan aparat tetap menguat.
Masyarakat jangan lemah. Terutama warga adat Melayu Islam Pulau Rempang. Tanah itu hak dan milik mereka. Terus pertahankan. Makin kuatkan perlawanan terhadap pemerintahan “babu asing”. Bertahan apapun yg terjadi.
Semakin lama proses pengosongan lahan karena rakyat melawan akan menjadi pertimbangan bagi Xinyi Group untuk cabut investasi dari Indonesia.
Seluruh masyarakat Indonesia harus bersatu melawan penjajahan dan perampasan lahan hidup masyarakat Pulau Rempang yg diinisiasi oleh pemerintah Indonesia.