Selamat Bagi Yang Merasakan Dan Turut Merayakan Kemerdekaan Indonesia Ke-78
(Oleh Faisal Sallatalohy)
MERDEKA !!!
Selamat bagi yg merasakan dan turut merayakan kemerdekaan Indonesia yg ke 78. Semoga dimudahkan jalannya menuju paham, dibuka akal pikirannya menuju sadar, agar lebih baik lagi dalam memaknai serta mensikapi kemerdekaan.
Indonesia adalah salah satu korban jeratan “One World Governance” atau yang dikenal dengan sebutan one World Order yang digagas Amerika dan Barat.
Buktinya tertuang dalam “buku putih” BAPPENAS. Bahwa Program kerja 5 tahun Jokowi, disusun berdasarkan kepentingan adidaya global.
Ceritanya sederhana…
Dijelaskan dalam UU No. 25 tahum 2004 dan UU No. 17 Tahun 2007: RPJMN adalah turunan RPJPN yang resmi menggeser posisi GBHN dan sebelumnya juga REPELITA.
RPJMN diperuntukan sebagai dokumen perencanaan dasar yg berisikan program kerja pemerintah untuk membangun Indonesia 5 tahun.
Dokumen itu disusun oleh pemerintah yg selanjutnya dijadikan arah dasar pembentukan Rencana Kerja Pemerintah periode satu tahun, kemudian pembentukan RAPBN dan nantinya disahkan menjadi APBN.
Kita semua pasti paham, APBN bukan sekedar format anggaran pendapatan dan belanja, melainkan instrumen politik dan kebijakan untuk melangsungkan pembangunan di semua sektor kehidupan bernegara.
Kita juga pasti kenal SDG’s, bukan ?
Betul, program pembangunan berkelanjutan berbasis mekanisme internasional oleh PBB untuk menyeragamkan pola pembangunan di seluruh dunia berdasar watak dan cara berfikir Amerika-sekutu.
Dalam konteks ini, Indonesia adalah salah satu negara yg menerima perintah integrasi SDGS ke dalam RPJMN. Catatan BAPPENAS sebagai badan yg bertanggung jawab atas koordinasi pembentukan RPJMN berdasarkan PP No. 40 tahun 2006 menyebut: diantara 241 program SDG’s, sudah 90% program diantaranya dintegrasi masuk dalam RPJMN Jokowi 2014-2019.
Artinya, pada periode pertama, cuma 10% saja program pembangunan semua bidang di indonesia selama 5 tahun yg dirancang berbasis inovasi anak bangsa atau tanpa campur tangan pihak asing.
Memasuki periode kedua pemerintahan Jokowi, BAPPENAS kembali menyesuaikan tanggung jawab: menyusun penyesuaian road map SDGs agar totally 100% masuk dalam RPJMN 2020-2024. Proses ini dilegitimasi Jokowi lewat penerbitan perpres No 59 tahun 2017. Proses ini selesai pada Juli 2018.
Catatan pentingnya: dari RPJMN akan melahirkan RKP. Sedangkan RKP menjadi dasar penyusunan RAPBN yang nantinya jadi APBN. Kalau SDGs yang mayorits program berkelanjutannya berbasis watak dan cara berfikir Amerika serta Eropa Barat itu, dimasukan pemerintah dalam RPJMN, maka otak pembangunan kita pasti jatuh di kepentingan asing.
Contoh ringan:
Breakdown rencana pendidikan dalam RPJMN ke dalam UU Cipta Kerja yg hanya memasukan satu pasal, yakni pasal 65 yang terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menyebutkan, “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha”.
Farasa “perizinan berusaha” menyamakan perizinan pendidikan dengan izin usaha. Jelas bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Pada BAB XVII tentang Pendirian Satuan Pendidikan, tepatnya pasal 62 ayat (1), UU Sisidiknas menyatakan, “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah”.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, ”Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan”.
Seluruh persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh izin pendirian satuan pendidikan tersebut tidak disertakan dalam UU Ciptak Kerja. Sebaliknya, disederhanakan menjadi perizinan usaha.
Imbasnya, penyederhanaan perizinan pendidikan menjadi perizinan usaha, kian melonggarkan aturan sertifikasi dan evaluasi, akreditasi, hingga manajemen dan proses pendidikan. Dampak lanjutannya akan berefek pada pengabaian asas kesetaraan mutu perguruan tinggi yg kian hari makin “rusak”.
Aturan pendidikan dalam UU Ciptaker adalah lanjutan upaya liberalisasi dan komersialisasi sudah diterapkan di perguruan tinggi sejak 2010 lalu lewat ‘managing higher education for relevance and efficiency: dokumen liberalisasi sistem pendidikan tinggi yg diserahkan oleh Amerika dan 28 negara eropa barat lewat tangan Bank Dunia kepada pemerintah indonesia pada 14 April 2010, dua minggu setelah UU BHP basis GATS (WTO) dibatalkan MK pada 31 Maret 2010.
Dokumen Bank Dunia, lalu dijadikan sebagai dasar rujuk akademik pembuatan UU Pendidikan Tinggi No. 12/2012. Salah satu perintahnya adalah liberalisasi syarat pendidikan tinggi. Meliputi kurikulum, materi ajaran, akreditasi, evaluasi, kualifikasi pengajar, peserta didik dan kultur lingkungan pendidikan.
Hasilnya seperti yg terlihat sekarang. Cara pandang yang ditransformasikan dunia pendidikan Barat gagal memberikan jawaban memuaskan bagaimana hari kemarin, hari ini dan hari besok dapat berjalan dalam kepastian dan keutuahan suatu sistem yg memiliki daya tahan dan kedaulatan.
Inilah dampaknya, ketika sistem pendidikan dibuat berkiblat ke Barat. Hasilnya materialisme yang menguat. Semua pihak berburu kekayaan memicu keterbelahan social serta menimbulkan potensi disintegrasi masyarakat. Uang berbicara dan nyaris merupakan segalanya.
Orientasi materialisme-individualisme melahirkan generasi opportunis berwatak feodal. Pikiran bangsa dijerat untuk mengandalkan kekuatan modal financial yang di satu sisi terus menggerus komitmen social, menyemai orientasi material, serta mengacaukan kekuatan silaturahmi.
Berbagai isu dibenturkan. Sistem kepercayaan satu sama lain dihancurkan. Gejala hasut-menghasut dan fitnah merebak. Di sebelah sini memuji tanpa peduli kesalahan. Di sebelah sana berupaya menjatuhkan nyaris tidak peduli pada prestasi.
Dalam sejarah ekonomi-politik penjajahan bangsa, keadaan semacam itu sengaja diciptakan lewat perantara atau “calo dalam negeri. Mereka ditugaskan sebagai eksekutor untuk memperlemah peranan modal social demi mempertemukan para komprador atas harta dan tahta.
Mempertemukan kekuatan politik dan kekuatan ekonomi berada di satu tangan. Mereka inilah kaki tangan pihak asing yang juga diarahkan untuk memangkas pihak-pihak berbeda kepentingan dengan tujuan modal global.
Mereka terus berupaya melanggengkan kekuasaan dengan menciptkan keberlanjutan posisi yang dominan. Dengan syahwat politik dan ekonomi mereka tidak sungkan membeli keyakinan rakyat miskin, membayar kekuatan kaum terpelajar, serta memperlemah peranan pemuka agama.
Pada sisi politik, Indonesia terus bertransisi menuju pendalaman otoritarianisme. Awal Februari 2023 lalu, The Economist Intelligent Unit mendudukan posisi Indeks Demokrasi Indonesia di peringkat 54 dari 167 negara dunia. Menjadi salah satu paling buruk di dunia dengan kategori “Flawed Democracy”, negara cacat demokrasi.
Daulat yang sama juga datang dari Freedom House of America. Dalam rentang 2013 hingga 2022, rating demokrasi Indonesia jalan mundur dari peringkat 65 ke peringkat 59 dunia. Masuk kategori “Partly Free”, negara nyaris tanpa demokrasi.
Kenyataan derajat impelementasi demokrasi Indonesia yang “sekarat”, mengkonfirmasi mayoritas masyarakat, secara arogan sedang terjepit diantara ketidakadilan distribusi hak-hak-nya sebagai warga negara.
Dalam konteks politik, hak-hak rakyat diamputasi lewat konfigurasi yang otoriter. Kenyataan ini terjawab lewat partisipasi politik yang rendah, kebebasan sipil yang terus degerogoti, dan budaya politik yang terus terkikis. Terutama untuk poin budaya politik, The Economist intelligent Unit mendapuk skor Indonesia 4,38 poin di 2022, di bawah poin minimal rerata global 5,32.
Data tersebut mengkonfirmasi, secara politik, status flawed democracy dan partly democracy, menegaskan, Indonesia terus ber-transisi ke arah pendalaman otoritarianisme
Pada sisi ekonomi, Indonesia dikendalikan jaringan oligarki. Terbukti lewat Crony Capitalism Index yang diterbitkan The Economist pada Mei 2023 lalu. Indonesia menempati peringkat ke-9.
Riset ini mengukur tren praktek rent-seeking untuk mengetahui seberapa dalam perekonomian suatu negara dikendalikan berdasarkan kedekatan pengusaha dan oknum pemerintah yang membentuk jaringan oligarki.
Sejak pertama kali digelar pada 2014 lalu, Indonesia selalu masuk peringkat 10 besar dunia. Mengkonfirmasi praktek rent-seeking yang berjalan atas dasar kolaborasi oknum pemerintah dan pengusaha “berlangsung secara brutal”.
Melalui praktik “loby dan suap”, pengusaha mengintervensi kekuasaan. Seperti tak punya malu, oknum kekuasaan menerima suap. Terjadilah transaksi yang menghasilkan “green corruption”, korupsi regulasi dan kebijakan.
Eksesnya, banyak aturan perekonomian yang diterbitkan pemerintah dan DPR bercorak transaksional. Menguntungkan pengusaha dan berbuntut kerugian bagi masyarakat luas. Pernyataan ini bukan isapan jempol. Terbukti, lewat pembatalan sejumlah regulasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai mengandung semangat liberalisasi dan privatisasi yang menguntungkan investor.
Riset The Economist menunjukan, serangkaian regulasi bercorak transaksional dilahirkan untuk mensponsori praktik rent-seeking pada sejumlah sector startegis, meliputi: tambang batu bara, minyak sawit, tembaga, pertahanan, bank peneima deposito dan investasi, infrstruktur, pipa kilang minyak dan saluran air, gas bumi, bahan kimia dan energy, pelabuhan dan bandara, property dan konstruksi, baja, metal, tambang dan komoditas serta telekomunikasi.
The Economist menemukan korelasi antara meledaknya kekayaan jaringan oligarki dengan sejumlah sector strategis tersebut. Bahwa aktivitas bisnis di sector-sektor tersebut sangat bergantung pada lisensi yang dikeluarkan pemerintah, keijakan deregulasi, privatisasi, keringanan pajak serta akses buruh murah kepada kelompok pengusaha tertentu. Sector-sektor tersebut sangat rentan terhadap praktik monopoli dan lobi pengusaha.
Praktik kroni kapitalisme yang dikendalikan oknum pemerintahan dan pengusaha inilah yang sejak era Orde Baru, menjadi benalu bagi pembangunan ekonomi nasional. Eksesnya, Harta kekayaan pejabat meningkat drastis, para taipan makin kaya, melebarkan jurang ketimpangan pendapatan serta implikasi kemiskinan ekstrim yang diderita masyarakat luas.
Sampai hari ini, praktik kroni kapitalimse menjembatani Indonesia menuju klimaks era perekonomian di bawah kendali “baron-baron perampok”. Menjamin akses kepada oknum pemerintah dan pengusaha menggelembungkan kekayaan tanpa menambah total kekayaan rata-rata masyarakat luas. Dengan kata lain, lewat dukungan regulasi yang berpihak, mereka mengambil potongan “kue” pembangunan lebih besar tanpa memperbesar porsi pembangunan ekonomi nasional, tanpa menjamin pemerataan pembangunan, serta produksi barang dan jasa yang tidak diperbesar.
Itulah Indonesia. Hampir dua periode di bawah kekuasaan “Kabinet Indonesia Maju” yang dikendalikan PDIP sebagai partai penguasa, apa yang dihasilkan presiden Jokowi ?
Pemerataan pembangunan dan keadilan dalam distribusi kekayaan nampak semakin “jauh panggang dari api”. Masifnya gaung pembangunan infrastruktur misalnya, gagal meningkatkan daya saing global Indonesia, pemerataan pembangunan hanya tinggal janji, kesejahteraan dan keadilan tinggal sebagai ilusi.
Institute for Management Development (IMD) dalam World Competitiveness Yearbook 2022 melaporkan indeks daya saing global Indonesia negative di peringkat 44. Lebih buruk dari peringkat daya saing tahun 2014 di peringkat 34. Dengan masifnya pembangunan infrastktur harusnya daya saing naik. Kenyataannya, malah terpukul jatuh.
Selain itu, Bank Dunia dalam data logistic performance index (LPI) mencatat Indonesia juga jatuh 17 peringkat dari 2018 di posisi 46 ke peringkat 63 di tahun 2023. Kinerja LPI dihitung berdasarkan enam dimensi, yakni customs, infrastructure, international shipments, logistics competence and quality, timelines, dan tracking & tracing.
Kenyataan tersebut menegaskan, pembangunan infrastruktur yang dibangga-banggakan Kabinet Jokowi selama dua periode, hasilnya tidak banyak menolong. Bahkan cenderung negative. Padahal, untuk mengejar pembangunan infrastruktur, alokasi anggaran melonjak 120% dari Rp 177,9 triliun pada 2014 menjadi Rp 391 triliun dalam APBN 2023. Totalnya, periode 2014-2022, Jokowi telah menghabiskan sebanyak Rp 2.778,2 triliun hanya untuk infrastruktur (Kemenkeu, 2022)
Pemerataan dan keadilan pembangunan ekonomi hanya tinggal cita-cita. Dalam LBDSE-BPS Triwulan- I 2023 mencatat, pertumbuhan ekonomi masih didominasi pulau Jawa 57,17%. Sangat timpang dibanding Kontribusi Sumatera 21,82%, Kalimantan 9%, Sulawesi 6,87%, Papua Nusa tenggara-Bali 2,68 serta Papua-Maluku 2,46%.
Selain ketimpangan spasial, praktik kroni kapitalisme kekuasaan dan pengusaha juga memicu pelebaran ketimpangan pendapatan. Tercermin dari gini ratio 0,384, menunjukan: “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Salah satu bukti nyata Tingginya ketimpangan pendapatan, tergambar lewat kepemilikan dana pihak ketiga (DPK) atau tabungan masyarakat di Perbankan.
Hingga Januari 2023, LPS dalam laporan “Distribusi Simpanan Bank Umum” mencatat, total rekening tabungan masyarakat di 106 bank umum capai 506,56 juta rekening dengan nilai simpanan Rp 8.004 triliun.
Kepemilikannya, Didominasi simpanan masyarakat miskin dengan nilai tabungan Rp 100 juta ke bawah sebanyak 98,7% rekening, namun total nilai simpanan hanya Rp 976 triliun. Sementara rekening dengan nilai Rp 200 juta hingga Rp 5 miliar keatas hanya 1,3%, namun menguasai total kekayaan hingga Rp 7.027 triliun. Betapa timpanganya kepemilikan kekayaan masyarakat di perbankan.
Tingginya ketimpangan tersebut, sejak 2017 lalu sudah diperingatkan Oxfam dan INFID dalam Laporan “Menuju Indonesia yang Lebih Setara”, bahwa kekayaan 4 orang terkaya Indonesia capai Rp 333,8 triliun, lebih tinggi dibanding 100 juta orang termiskin di Indonesia yang hanya Rp 320,3 triliun.
Diantara 4 konglomerat itu, seluruhnya dekat dengan kekuasaan, bahkan sejak era Soeharto. Sebut saja keluarga Hartono, Budi dan Michel. Pada 10 Mei 2023 lalu, Majalah Forbes kembali mendapuk mereka sebagai orang terkaya dengan jumlah aset yang terus meningkat. Budi US$ 26,6 miliar dan Michel US$ 25,4 miliar. Jika ditotalkan kekayaan keduanya, dua kali lebih besar dibanding total kekayaan 100 juta masyarakat paling miskin Indonesia.
Inilah gambaran nyata Indonesia. Negeri para oligarki. Ekonomi dikendalikan berdasarkan kedekatan pengusaha dan penguasa yang korup. Berkolaborasi melahirkan regulasi bercorak transaksional. Terus membuka jalan bagi mereka menggelembungkan kekayaan. Menyisakan dampak kemiskinan ekstrim masyarakat luas.
LBDSE-BPS Triwulan-I 2023 mengkonfirmasi, kemiskinan nasional 9,57% setara 26,36 juta jiwa. kemiskinan diukur menggunakan garis kemiskinan yang sudah tidak relevan. Bank Dunia dalam Laporan “Indonesia Poverty Assesment” dan “Reforms for Recovery: East Asia and Pacific Economic” pada Oktober 2022 lalu menyarankan Indonesia untuk menaikan standar garis kemiskinan ekstrim ke level yang lebih layak US$ 3,2 atau Rp 47.168, sesuai standar negara berpenghasilan menengah.
Sampai hari ini, hanya Indonesia satu-satunya negara berpenghasilan menengah yang masih memberlakukan standar garis kemiskinan rendah US$ 1,9 dolar atau Rp 28.969 per hari. Hasil simulasi menunjukan, jika standar garis kemiskinan dinaikan sesuai anjuran Bank Dunia, maka jumlah orang miskin ekstrim di Indonesia naik menjadi 40%. Artinya, hampir separuh masyarakat Indonesia terkategori miskin ekstrim.
Keadaan buruk yang berlangsung, memunculkan tanda Tanya, apakah kita sudah merdeka ?
Ambil contoh pada kasus inflasi listrik dan pangan. Peningkatan harga listrik cukup signifikan dari rata-rata Rp. 728,32 per kWh di 2012 menjadi Rp 1.129,59 pada 2019 (Statistik PLN, 2019). Sementara mahalnya harga pangan bukan saja menekan daya beli dan menguras pendapatan rakyat, melainkan juga menambah jumlah kemiskinan baru dari tahun ke tahun.
Tercermin dari dominannya kontribusi garis kemiskinan pangan/makanan pada 2018 mencapai 73,35% (dari total garis kemiskinan), pada 2019 mencapai 73.66% (dari total garis kemiskinan) dan di 2020 mencapai 73.86% (dari total garis kemiskinan). Presentasinya dari tahun ke tahun konsisten menunjukan peningkatan. Dimana beras paling dominan menguras 29% pendapatan keluarga miskin dengan relasi sumbagan sebesar 21,8% terhadap kemiskinan. Berdasarkan statistik tersebut, disimpulkan, kalau terjadi kenaikan harga beras sebesar 10%, orang miskin baru bertambah 1,2 juta. (Presentase Penduduk Miskin BPS, 2018-2020).
Atas fakta tersebut, bagaimana masyarakat mengejanya, Apakah ini tamparan atau sanjungan peryaaan kemerdekaan ?
Secara historis, sejak awal Soeharto “manggung”, Indonesia sudah tunduk pada kententuan-ketentuan perekonomian global. Secara bertahap, sumber daya ekonomi, produksi dan distribusi dialihkan ke tangan swasta domestic dan asing lewat utang dan investasi. Seiring waktu berjalan, Indonesia tidak pernah lepas dari gejolak ekonomi. Sementara gejolak nasional tidak lepas dari gejolak ekonomi global. Misalnya, peristiwa Nixon Shock yang dimulai sejak Juli 1971 dipicu kenaikan harga minyak dunia. Dampaknya perekonomian AS terpukul dan dollar terdepresiasi tajam.
Sayangnya, kejadian ini tidak membuat “Mafia Barkelay” sadar bahwa sejak awal perekonomian barat yang dikendalikan AS lewat sejumlah lembaga global yang bermarkas berbasis Breeton Woods adalah rapuh. Kejadian tersebut sesungguhnya mengajarkan dunia, bahwa integritas yang dibangun Bank Dunia, IMF dan General Agreemnt Trade and Tariff (GATT)-sekarang WTO, tidak bisa dipercaya. Bahwa sistem ekonomi terbuka yang ditawarkan sejumlah lembaga tersebut justru menyemai perilaku rakusnya pemodal, tidak jujurnya pasar, serta keserakahan dan keuntungan adalah Tuhan.
Dengan dasar keyakinan yang tetap kuat terhadap bangunan pemikiran ekonomi barat, Orde Baru memilih terus menghamba kebijakan debirokratisasi. Bahkan pada November 1987 pemerintah merancang kebijakan Paket November untuk menjamin liberalisasi secara keseluruhan. Perilaku neoliberal tersebut dilakukan menyusul tudingan Barat, bahwa UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing masih menerapkan liberalisasi setengah hati. Maka lewat Paket November disemai liberalisasi semua sektor.
Dampaknya, fundamental ekonomi rezim Soeharto semakin rapuh. Ditandai dengan devalusasi nilai tukar sebanyak enam kali sejak 1971 sampai 1986. Tidak belajar dari kerapuhan tersebut, kembali ditetapkan kebijakan liberalisasi perbankan lewat Paket Oktoboer 1988 (Pakto 88). Dimana kebijakan tersebut berujung pada perampokan ekonomi Indonesia melalui kebijakan reformasi.
Sejumlah masalah berat muncul mulai dari pengemplangan dana talangan liquiditas perbankan (BLBI) serta masalah obligasi rekapitalisasi. Paling pentingnya, kebijakan reformasi yang dijalankan mengikuti arahan IMF dan Bank Dunia, berujung pada semakin dalamnya proses neoliberalisasi ekonomi berdasakan kebijakan Washington Konsensus.
Maka krisis dipulihkan dengan obat privatisasi. Pemerintah didorong IMF dan Bank Dunia menjual aset strategis nasional dengan harga obral. Diikuti kebijakan neoliberalisasi berbagai sektor menuju dominasi swasta. Dampaknya bukan membaik. Sebaliknya terus memicu kejatuhan nilai tukar, pendalaman krisis secara meluas dan kerusuhan social.
IMF yang dipercaya sebagai dokter oleh pemerintah lewat resep Letter Of Intens, digugat ke tribun intrenasional. IMF mengakui resepnya salah dan minta maaf. Namun permintaan maaf IMF tidak merubah situasi. Sampai hari ini ekonom “Mafia Barkelay” tetap berkuasa. Sementara ekonomi digagas semakin terkoneksi dengan pasar bebas. Implikasinya, fundamental ekonomi tetap rapuh dan mudah sekali mengalami gejolak. Situasi nasional yang berantakan saat ini, harusnya menjadi tamparan terhadap pemerintah.
Sandaran ekonomi pasar bebas memang rapuh. Sejalan dengan iklim perekonomian dunia di bawah kendali kebijakan neoliberal memang selalu dirundung ketidak pastian. Penyebabnya, sistem pasar bebas menjadikan pemilik modal sebagai pengendali utama perekonomian. Dengan watak individualis yang serakah, mereka mendayagunakan uangnya untuk valuasi kepentingannya sendiri. Tidak peduli siapa yang menjadi korbannya.
Kesimpulan tersebut sesungguhnya mengindikasikan pergeseran konfigurasi politik terus menuju pendalaman sistem ekonomi terbuka. Pergeseran ini didukung penegakan sikap totalitariansime pemerintah. Tercermin dari kegagalan pemerintah atas penerapan globalisasi ekonomi yang sejalan dengan penegakan politik antikritik. Mulut rakyat ditempeleng. Tangan rakyat diborgol. Siapa mengkritik, polisi menangkap.
Gambaran tersebut harusnya memukul saraf sadar rakyat tentang cara kerja pejabat dan wakil rakyat yang terus menjauh dari anjuran UUD 1945. Namun kembali lagi kepada kualitas UUD 1945 itu sendiri. Terutama terkait kewenangannya dalam memberikan keleluasaan secara berlebihan kepada partai politik sebagai satu-satunya alat penyerap dan penyaring wakil rakyat serta pejabat eksekutif.
Fakta menunjukan, proses di partai politik tidak mengutamakan kompetensi dan iman. Melainkan uang. Dalam konteks ini, proses demokrasi Indonesia yang mahal membuat partai politik bergantung modal kepada “pebandar”. Dalam pengertian ini, sesungguhnya para “bandar” telah menjadi pemegang saham utama partai politik. Hal ini menjadi cerminan dominannya anggota DPR dan pejabat pemerintah ketika terpilih justru mencerminkan kepentingan pemodal yang serakah.
Lalu Bagaimana mungkin kedaulatan dan ketahanan bisa terwujud jika dibangun di atas sistem politik-ekonomi yang puluhan tahun cenderung eksploitatif, membuka peluang moral hazard serta profit adalah tuhan ?
Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal: the winners takes all, the loser gets nothing dan survival of the fittest mendorong para pebandar, pejabat dan wakil rakyat berkelompok menurut kesamaan orientasi memperebutkan kekuasaan yang melahirkan kekayaan.
Dengan kesimpulan tersebut, kita akan sampai pada pengertian “demokrasi korporasi”. Dalam bahasa saya, “republik investor”. Maka berhentilah berteriak “MERDEKA” !!!!