Oleh | Faisal S Sallatalohy | Pakar Hukum Tatanegara & Pemerhati Kebijakan Publik
Salah satu tuntutan masyarakat dalam aksi demonstrasi dan juga dalam 25 butir isi tuntutan 17+8 adalah pengesahan UU Perampasan aset
Bagi saya mendorong pengesahan dan pelaksanaan aturan ini bukan solusi. Sebaik apapun pasal-pasal yg rancang di dalamnya, dalam konteks pelaksanaannya nanti setelah disahkan, hampir tidak ada gunanya. tidak akan efektif alias mandul.
Alasannya sederhana: karena DPR RI telah mempersiapkan celah politik untuk mengendalikan, mengangkangi, mempolitisasi perjalanan pelaksanaan UU perampasan aset ketika disahkan nanti sesuai selera kepentingan mereka.
Sejak awal desakan pengesahan UU Perampasan aset dibunyikan oleh rakyat, DPR terus mengulur-Ngujur waktu. Sambil mencari celah untuk bisa mengendalikan pelaksanaannya ketika disahkan.
Ketemu juga jalannya. DPR menemukan celah politik lewat revisi UU No 1 tahun 2020 tentang tata tertib DPR yg disahkan Pada 4 Februari 2025 lalu.
Dalam pengesahan aturan ini, direvisi pasal 228A dengan memasukan ketentuan yg memberikan DPR kewenangan baru untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yg telah melalui uji fit and propeler test di DPR. Termasuk mengeluarkan rekomendasi pemberhentian terhadap pejabat negara.
Lembaga yg bisa dievaluasi berkala dan unsur pimpinannya bisa mendapatkan rekomendasi pemberhentian dari DPR, termasuk didalaminya lembaga-lembaga inti yg akan terlibat dalam pelaksanaan UU Perampasan aset.
Diantaranya: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Tinggi, KPK dan PPATK.
Tentu saja, pasal 228 A bisa dijadikan alat politik untuk mengendalikan pimpinan lembaga-lembaga negara tersebut agar tidak menyasar kasus-kasus yg berkaitan dengan kepentingan yg melibatkan anggota DPR, presiden, menteri, elit lainnya serta jaringan oligarki yg bertaut kepentingan bermotif korup dengan DPR dan pemerintah.
Pasal ini merupakan celah politik DPR untuk menekan, memberi ancaman lewat proses evaluasi kinerja dan rekomendasi pemberhentian untuk mencopot Kapolri, ketia KPK, Jaksa Agung, Hakim MK, Hakim Agung jika berani menyentuh kasus yg melibatkan anggota DPR, pemerintah beserta elit dan jaringan oligarki yg berkaitan dengan mereka.
Inilah liciknya DPR dan pemerintah di bawah pimpinan Prabowo Subianto. Mengebut revisi UU tatib untuk memasang pasal, aturan hukum sebelum mengesahkan UU perampasan aset agar bisa tetap aman dan terlindungi dalam menjalankan perilaku korup mereka.
Pasal 228A UU Tatib DPR menunjukan gejala abuse of power DPR merusak dan mengendalikan independensi serta kewenangan absolut lembaga hukum lainnya dalam melaksanakan uu perampasan aset.
Dalam sudut pandang tatanegara, Masalahnya, bukan saja terletak pada pasal 228A UU tata tertib DPR yg sengaja dimanipulasi sebagai alat politik agar terlindungi dari jerat hukum UU perampasan aset.
Lebih dari itu, masalah mendasarnya bersumber pada problem yg terkandung dalam UUD Pasal 1 ayat (3)
Disebutkan bahwa: Negara Indonesia adalah negara hukum
Dalam temuan komisi konstitusi yg diserahkan pada MPR pada 2002 lalu menyebutkan: secara eksplisit, bunyi Pasal 1 ayat 3 sangat normatif dan tidak operasional. Memunculkan ketidakjelasan model negara hukum yg dianut Indonesia. Apakah Rechtsstat berbasis hukum tertulis atau rule of law berbasis common law dan supremasi hukum.
Tanpa penjelasan soal mekanisme dan lembaga penjamin supremasi hukum secara rinci. Akibatnya penegakan hukum jadi tidak konsisten. Memunculkan darurat politisasi hukum. Tidak adanya jaminan check and balances. Berdampak pada lemahnya independensi peradilan, supremasi konstitusi, lemahnya kontrol antar cabang-cabang kekuasaan dan mudahnya kepentingan politik elitis mengakali aturan untuk menorobos keindependensian lembaga hukum.
Masalah mendasar ini telah mewabah sebagai penyakit serius yg mendasari kinerja DPR, eksekutif dan lembaga peradilan. Saling mengankangi kewenangan, saling melucuti keindipendensian, saling berkompromi untuk mewujudkan kepentingan bersama.
Inilah yg terjadi dalam proyek politik DPR revisi UU tatib untuk melahirkan celah politik agar bisa menekan, mengancam dan mengendalikan lembaga-lemabag hukum yg terlibat dalam pelaksanaan UU Perampasan Aset ketika disahkan nanti.
So, tidak ada gunanya, rakyat mendesak pengesahan dan pelaksanaan UU Perampasan aset. Tidak akan efektif alias mandul di bawah politisasi DPR yg didukung pemerintah Prabowo.
Presiden Prabowo, berhentilah omon-omon. Berhentilah bacot berantas korupsi !!!