Faktanesia.id, – Sosok Gibran Rakabuming Raka, cawapres yang pencalonannya dipaksakan itu, tak punya daya pikat bagi anak- anak muda yang kritis dan kreatif.
Penilaian ini disampaikan oleh Sumarto, pedagang es yang mangkal di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. “Saya pribadi tidak suka dengan gaya Gibran, niru-niru bapaknya,” katanya saat diwawancara media, Rabu (3/1/2024).
Sarjana ekonomi sebuah perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah itu melihat ada pemandangan yang tak layak dicontoh dari proses pencawapresan Gibran.
“Saya kok merasa negara ini keluar dari jalur budaya kejujuran, terbuka, dan etika. Semua yang baik-baik dan normal, sekarang dibuat tidak baik dan menyimpang. Lalu atas nama peraturan, hal yang buruk itu jadi kebiasaan dan dianggap benar,” katanya beralasan.
Sumarto yang baru setahun lulus itu, kini mengisi waktu dengan berjualan es. Ia meyakini orang-orang seperti dirinya banyak sekali jumlahnya, hanya saja tidak terungkap ke publik.
“Cek berapa jumlah pengangguran saat ini. Tapi kan hidup harus tetap jalan. Gak papa saya jualan, nasib orang beda-beda,” katanya bersemangat.
Namun kadang miris juga melihat “nasib baik” Gibran yang semuanya serba mulus. Sedangkan banyak masyarakat yang tersakiti dari cara berpolitik keluarga Jokowi.
“Alih alih mencintai, justru saya apatis terhadap kenyataan itu,” paparnya.
Hal senada dikemukakan oleh Marto Suwito, tukang parkir di seputar Candi Prambanan, Klaten Jawa Tengah.
Gibran, katanya bukan contoh yang baik untuk perjuangan anak muda. Hal itu akan menular pada kasus kasus yang lain di mana orang tua memberikan fasilitas istimewa kepada anaknya dengan cara paksaan. “Buruk banget caranya,” kata Suwito singkat.
Efek buruk Gibran telah membuka mata bagi masyarakat Indonesia, khususnya dalam peristiwa baliho di Batam.
Seperti diketahui ikon Kota Batam dikotori oleh pemasangan baliho jumbo pasangan Prabowo Gibran di tempat itu. Akibatnya banyak masyarakat yang malas datang ke tempat itu. Imbasnya fotografer yang biasanya panen order, justru sebaliknya, karena ada baliho pasangan capres yang bukan pada tempatnya.
Menurut pengamat politik Rocky Gerung, sosok Gibran telah mendegradasi elektabilitas Prabowo yang sangat tajam.
“Mungkin kalau cuma foto Prabowo masih banyak yang memaklumi, tetapi begitu berdampingan dengan Gibran, orang langsung berubah psikologinya karena the chemistry doesn’t mix,” kata pengamat politik Rocky Gerung dalam kanal YouTube nya, Senin (1/1/2024).
Rocky menyinyalir tim Prabowo menganggap harus dipaksa terus-menerus, dengan harapan makin lama akan suka.
“Apa pun keadaannya, sudah menjadi semacam diktum bahwa yang menginginkan perubahan adalah mereka yang memungkinkan politik itu dihela lebih cepat ke depan. Sedangkan yang tidak menginginkan perubahan tentu menganggap ya sudah di sini saja,” paparnya.
Rocky prihatin pada para fotografer yang selalu menunggu momentum, namun terganggu adanya baliho Prabowo. Momentum akhir tahun yang mereka harapkan bisa mendapat pelanggan lebih banyak, akan tetapi rezeki mereka seret gara-gara ada foto Gibran.
Ironis kata Rocky bahwa banyak orang malas berfoto di WTB (Welcome to Batam) karena di situ ada fotonya Gibran. Padahal, selama ini Gibran diharapkan bisa menggaet pemilih muda yang jumlahnya sangat besar, di atas 50 persen. Jumlah ini menjadi pasar perebutan yang besar.
Jadi, pada pemilu kali bukan lagi pemilih warga di pedesaan yang diperebutkan, tapi justru pemilih muda. Tetapi, sepertinya Gibran tidak bisa masuk lagi di situ.
“Kelihatannya sudah final, pemilih muda yang terdidik pasti lebih mendengar ketua BEM UI, ketua BEM UGM, atau ketua BEM UNS daripada mendengar kampanye yang ada kehadiran Gibran.
Karena, akhirnya anak-anak muda ini tahu bahwa Gibran itu hanya ditempelkan. Bukan karena idenya ada, tapi karena keinginan Jokowi untuk menjamin kelangsungan rezimnya,” ujar Rocky.
Sebaliknya, lanjut Rocky, diskusi-diskusi yang dilakukan oleh Anies jauh lebih menarik, seperti yang dikemas dalam Desak Anies. Dari acara tersebut otomatis orang ingin menguji Anies teguh atau tidak, konsisten atau tidak pada ide-idenya, yang itu tidak mungkin didapatkan dari Gibran.
“Jadi, bagi anak-anak muda ini, kecenderungan untuk kembali pada politik yang basisnya akal sehat, basisnya perdebatan intelektual, basisnya pemeriksaan metodologi, itu tidak pada Gibran karena Gibran tidak terlatih untuk berpikir secara metodologis. Dia bisa ucapin sesuatu dalam 10 – 20 menit karena dia hafal. Jadi, lama-lama anak-anak muda ini tahu cara Gibran menerangkan idenya,” ujar Rocky.
Akhirnya Bawaslu menurunkan baliho Prabowo – Gibran yang dipasang di landmark Batam.
Akan tetapi, penurunan baliho dilakukan setelah tahun baru, sehingga fotografer keliling di area WTB (Welcome to Batam) sudah telanjur seret rezekinya, sebab ketika pada tahun baru banyak turis yang tidak mau difoto di tempat tersebut. Mereka tidak mau berfoto di area itu karena di belakang mereka ada baliho Prabowo dan Gibran.(*RS)