Oleh Muhammad Ibrahim Hamdani, Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI)
Alhamdulillah, kesepakatan Gencatan Senjata antara Pejuang HAMAS dengan rezim zionis Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah disepakati pada hari ini, Kamis, 16 Januari 2025.
Di satu sisi, harus diakui, ikhtiar mewujudkan Gencatan Senjata ini merupakan hasil akhir dari upaya negosiasi terus-menerus yang melibatkan pemerintah. Amerika Serikat (AS) di bawah pimpinan Presiden Joe Biden, bersama mitra-mitra strategisnya di Timur Tengah, yakni Emirat Qatar dan Republik Arab Mesir.
Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT, bahwa upaya negosiasi dan perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan Gencatan Senjata Tahap I yang ditandatangani oleh faksi Pejuang Hamas dan Rezim Zionis Israel.
Menariknya, posisi Mesir dan Qatar dalam perundingan ini merefleksikan kebijakan politik luar negeri yang berbeda secara prinsipil.
Pertama, Pemerintah Qatar tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel hingga kini, namun memiliki hubungan diplomatik yang sangat erat dengan Amerika Serikat dan Inggris.
Posisi Qatar juga istimewa dan terhormat bagi kelompok Pejuang HAMAS karena menjadi lokasi kantor perwakilan Hamas di luar negeri.
Bahkan pemimpin Hamas yang syahid akibat teror Israel di Teheren, Iran, tahun 2024 lalu, Ismail Haniyeh, telah dimakamkan di Doha, Qatar.
Kedua, hingga kini, Pemerintah Mesir tetap membuka hubungan diplomatik dengan Israel; pasca disepakatinya Perundingan Camp David tahun 1978 dan ditandatanganinya Perjanjian Damai Mesir-Israel pada tahun 1979.
Bahkan Pemerintah Mesir memiliki hubungan diplomatik yang erat dengan Amerika Serikat (AS).
Hal ini wajar karena AS setiap tahun memberikan bantuan militer dalam jumlah besar kepada Pemerintah Mesir, sebagai konsekuensi logis dari kesediaan pemerintah Mesir membuka hubungan diplomatik dengan Israel pasca persetujuan Camp David.
Namun di sisi lain, saya juga melihat faktor bencana alam turut mempercepat terwujudnya Gencatan Senjata antara Rezim zionis Israel dengan Kelompok Pejuang HAMAS di Palestina.
Tepatnya, bencana alam yang terjadi di sebagian wilayah Kota Los Angeles di Negara Bagian California.
Bencana ini telah mengakibatkan estimasi kerugian yang dialami oleh AS, khususnya industri asuransi, mencapai lebih dari Rp 4.000 Triliun. Bahkan lebih dari 10.000 rumah, kebanyakan rumah mewah, terbakar habis, dan sedikitnya 25 orang telah tewas hingga saat ini.
Kondisi di atas turut mempercepat proses negosiasi damai di Palestina, karena Pemerintah AS tentu akan lebih memprioritaskan penyelesaian masalah domestik mereka, daripada terus-menerus menghabiskan pajak warga AS untuk membantu persenjataan militer Israel untuk berperang di Jalur Gaza dan Tepi Barat, Palestina.
Kolaborasi dan sinergi konstruktif antara Presiden Joe Biden dengan Presiden Abdel Fattah Al-Sisi dan Emir Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, dalam upaya negosiasi damai antara Rezim zionis Israel pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan kelompok Pejuang HAMAS yang kini dipimpin sementara oleh Muhammad Sinwar, akhirnya mencapai titik kulminasinya dengan Penandatanganan Gencatan Senjata pada hari ini, Kamis, 16 Januari 2025.
Dalam perspektif pemerintah dan bangsa Indonesia, kebijakan politik luar negeri Qatar terhadap Israel memiliki kesamaan dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia, yakni tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Bahkan Indonesia juga memiliki hubungan diplomatik yang erat dengan Pemerintah Amerika Serikat dan Republik Arab Mesir.
Maka anggapan sebagian pihak bahwa untuk terlibat aktif dalam perundingan negosiasi damai di Palestina, harus membuka hubungan diplomatik dengan Israel, telah terpatahkan.
Dan Qatar menjadi contoh sukses sekaligus role model bagi Dunia Islam dan Global bahwa prinsip kebijakan politik luar negeri tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel bukan penghalang bagi suatu negara untuk terlibat aktif dalam proses negosiasi damai antara Israel dengan kelompok-kelompok pejuang di Palestina.
Jadi sikap Indonesia selama ini, untuk tidak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sudah tepat.[R5]
Mi’raj News Agency (MINA)