Faktanesia.id, – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) bukanlah kewajiban, melainkan kewenangan diskresioner yang bersifat opsional.
Penegasan itu disampaikan melalui tafsir atas frasa “dapat dibentuk UPZ” dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Menurut MK, penggunaan kata “dapat” berarti tidak ada dasar hukum untuk memaksa instansi pemerintah, BUMN, BUMD, maupun perusahaan swasta membentuk UPZ di bawah naungan BAZNAS.
“Putusan MK ini sangat penting, karena menegaskan bahwa pembentukan UPZ adalah kewenangan diskresioner, bukan kewajiban. Artinya, tidak ada pemaksaan yang boleh dilakukan,” ujar Ketua Indonesia Zakat Watch, Barman Wahidatan, dalam keterangan tertulisnya diterima Faktanesia.id, Ahad (31/8).
Selain menegaskan soal UPZ, MK juga meminta DPR segera merevisi UU 23/2011 dengan tenggat paling lama dua tahun. Hal itu tercantum dalam Putusan Nomor 97/PUU-XXII/2024 dan 54/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta.
Barman juga menyatakan bahwa dalam putusan tersebut MK menekankan agar pembentuk undang-undang memperhatikan lima hal pokok.
Pertama, membedakan kewenangan, tugas, dan fungsi antara regulator, pembinaan, dan pengawasan (oleh pemerintah) dengan pelaksana/pengelola/operator (oleh BAZNAS dan LAZ).
“MK secara tegas mengakui adanya permasalahan tata kelola zakat, khususnya terkait BAZNAS yang selama ini memegang fungsi ganda sebagai operator, regulator, sekaligus auditor,” ujar Barman.
Kedua, memberikan kebebasan bagi pembayar zakat (muzaki) untuk menentukan badan atau lembaga yang mereka percaya dalam membayar zakat.
“MK mengakui hak masyarakat untuk kebebasan menunaikan ibadah zakat, termasuk kebebasan muzaki untuk memilih lembaga pengelola zakat yang mereka percaya. Hal ini sejalan dengan prinsip konstitusi, bahwa negara tidak boleh membatasi kebebasan beragama dan praktik ibadah warga negara,” tutur Barman.
Ketiga, membuka kesempatan yang sama bagi semua operator pengelolaan zakat untuk berkembang secara optimal dan adil tanpa adanya hubungan subordinasi antar lembaga pengelola zakat.
“Revisi UU harus menjamin adanya kesempatan yang sama bagi semua operator zakat untuk berkembang secara adil. Jangan ada lagi hubungan subordinasi yang menempatkan LAZ di bawah bayang-bayang BAZNAS. Semua lembaga harus berdiri sejajar, dengan ukuran profesionalisme dan kepercayaan publik sebagai tolak ukur,” tegas Barman.
Keempat, tata kelola zakat harus dilakukan dengan prinsip good zakat governance yang transparan, akuntabel, dan profesional.
“Tata kelola zakat harus diarahkan untuk mewujudkan good zakat governance transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pemberdayaan umat. Dengan prinsip ini, zakat bisa lebih maksimal perannya untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan,” jelas Barman.
Kelima, proses revisi UU 23/2011 harus melibatkan partisipasi bermakna dari semua pihak yang berkepentingan, terutama lembaga-lembaga amil zakat yang sudah berperan nyata di masyarakat.
Menurut Barman, Revisi undang-undang tidak boleh dibuat secara tertutup. Partisipasi bermakna dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya lembaga-lembaga amil zakat yang sudah lama bekerja di lapangan, adalah syarat mutlak
“Dengan putusan ini, MK secara tegas mengakui adanya permasalahan tata kelola zakat yang selama ini timpang, terutama terkait BAZNAS yang memegang fungsi ganda sebagai operator, regulator, sekaligus auditor,” kata Barman.
Mahkamah menegaskan bahwa tenggat dua tahun ini menjadi waktu krusial bagi DPR dan pemerintah untuk menyusun kerangka hukum baru yang lebih adil, partisipatif, serta sejalan dengan prinsip syariah dan konstitusi.[]