Oleh Tengku Zulkifli Usman, Ketua Pusat Solidaritas Palestina DPP Partai Gelora
Dalam Pertemuan Trump dengan Netanyahu di gedung putih baru-baru ini, narasi mengambil alih Gaza kembali ditekankan oleh Trump, Amerika Serikat (AS) akan merelokasi warga Gaza ke wilayah lain, Mesir atau Yordania. kemudian membangun Gaza dengan gaya Dubai yang diklaim akan menjadi kota baru yang maju dan modern.
Tapi nanti setelah dibangun, Gaza akan dikuasai AS dan Israel. Warga Gaza wajib keluar dan statusnya terusir dari tanah mereka sendiri. Ini adalah narasi Netanyahu yang akan memulai pendekatan baru dalam konflik Palestina-Israel.
Narasi take over Gaza sebenarnya adalah gertakan Trump untuk semua negara Arab dan sinyal kepada semua negara muslim, agar mau membangun Gaza lagi dengan uang mereka bukan dengan uang AS, narasi take over Gaza juga ancaman untuk seluruh kekuatan pembela perlawanan Palestina agar menekan Hamas sebagai official government di Gaza agar mau tunduk kepada Israel.
Padahal pemahaman yang benar adalah, rakyat Palestina bukanlah golongan ilegal yang menduduki Palestina dan perlu diusir keluar, tapi penjajah lah yang datang dengan sokongan Internasional yang kuat untuk menempati tanah Palestina dan mencaploknya hingga kini. Ini adalah pendapat resmi PBB.
Yang diinginkan Trump dan Netanyahu adalah bagaimana membangun platform baru agar kondisi keamanan Israel semakin terjamin dimasa mendatang, inilah yang saya sering sebut dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya dengan kompensasi Trump kepada Israel yang mau memenuhi permintaan Trump dan menyepakati gencatan senjata sehari sebelum Trump dilantik sebagai presiden, agar Trump mendapatkan kredit dalam konflik ini.
Netanyahu menemukan momentum dengan masuknya Trump ke Gedung Putih, sebenarnya, Netanyahu butuh banyak Trump-Trump yang lain yang siap mengeksekusi agenda-agenda besar Israel ke depan. Netanyahu terus melakukan lobi agar Trump dan sekutu AS terus memberikan dukungan penuh untuk semua agenda-agenda Israel nantinya.
Trump mendukung Israel dan agenda besar Netanyahu bukan tanpa pamrih, Trump menerima ratusan juta dolar dari lobi-lobi Zionis di AS untuk dana kampanye pilpres AS kemarin. Ini sangat masuk akal, selain politisi, Trump juga adalah pebisnis, Palestina akan dibisniskan juga selama ada keuntungan yang jelas.
Melihat kondisi Gaza pasca perang 15 bulan ini memang memprihatinkan, 90% bangunan di Gaza hancur total tidak layak huni, dan apabila kita melihat data-data lain soal Gaza, listrik, air bersih, makanan, dan lain-lain, masih minim, semua masih proses recovery dan wajib atas izin Israel, terutama pasokan logistik dan bantuan kemanusiaan yang masih dibatasi jumlahnya untuk masuk ke Gaza.
Butuh dana yang sangat besar untuk membangun kembali Gaza, paling kecil puluhan miliar dolar dan akan memakan waktu tidak kurang dari satu dekade. Gaza saat ini mengalami kehancuran paling parah dalam sejarah konflik dengan Israel.
Disisi lain lagi, 80% penduduk Gaza saat ini adalah pengangguran dan kemiskinan ekstrem melanda Gaza, nasib Gaza lebih buruk dari tetangganya Tepi Barat, ini karena Gaza dipimpin oleh ‘teroris’ versi AS-Israel. beda dengan Tepi Barat yang dipimpin oleh pemerintahan otoritas Palestina yang secara keseluruhan disupervisi oleh Israel.
Dengan kondisi ril seperti ini, Trump dan Netanyahu sebenarnya ingin menyentuh otak kanan warga Gaza secara khusus, bahwa hidup di bawah kepemimpinan Hamas adalah penderitaan dan kemiskinan, dan iming-iming membangun kota baru yang maju dan modern ala Dubai diharapkan akan membuat warga Gaza tergiur karena mereka sudah lelah hidup dalam penderitaan berkepanjangan.
Trump dan Netanyahu menginginkan Gaza yang modern dan maju, tapi disaat yang sama adalah Gaza yang dikuasai Israel sepenuhnya dan tanpa Hamas. Mereka memberikan pilihan kepada warga Gaza, pilih Hamas ,tapi menderita atau pilih Israel dan AS dengan kompensasi Gaza sebagai kota modern tapi tetap di bawah penjajahan.
Wacana pemindahan warga Gaza keluar negeri terutama ke Mesir dan Yordania bukan persoalan relokasi semata, tapi jika proyek ini berlanjut dan sukses, maka akan terjadi shifting Geopolitik yang sangat signifikan bahkan terbesar sejak 1967 pasca perang 6 hari antara Israel dan beberapa negara arab.
Shifting ini bukan hanya mengubah lanskap Geopolitik Palestina, tapi akan mengubah lanskap geopolitik kawasan secara menyeluruh, dari Asia Barat sampai Asia Selatan dan seluruh Timur Tengah. Trump akan memaksa Mesir dan Yordania menerima opsi ini, rakyat gGaza harus pindah ke kedua negara tetangga ini.
Trump misalnya dalam konferensi persnya di Gedung Putih sebelum menerima Netanyahu mengatakan kepada wartawan, bahwa Mesir dan Yordania wajib menerima relokasi warga Gaza, AS sudah lama membantu Mesir dan Yordania, dan saatnya sekarang Mesir dan Yordania membantu agenda AS dan Israel. Begitu pernyataan resmi Trump.
Maksud dari kalimat Trump bahwa AS selama ini sudah banyak membantu Mesir dan Yordania, tidak lain dan tidak bukan adalah mengkonfirmasi bahwa Mesir dan Yordania adalah dua negara boneka Israel selama ini yang sudah lama memakan jasa AS.
Maka saatnya sekarang mereka balas budi. Mesir sejak perjanjian Camp David 1979 telah menerima bantuan AS 1,4 miliar Dolar per tahun, dan angka itu terus naik setelah Presiden Mursi dikudeta militer tahun 2013, bantuan AS ke mesir bertambah menjadi 4 sampai 6 miliar dolar per tahun. Mesir juga menerima bantuan besar 50 miliar dolar dari AS kurun waktu tahun 2019-2021 lalu.
Langkah tekanan lain terhadap Mesir adalah dengan menggunakan isu sengketa Renaissance Dam atau bendungan raksasa yang melibatkan Ethiopia-Mesir, dan Sudan.
Political Dispute dalam isu Renaissance Dam ini akan dipakai oleh Trump untuk menekan Mesir agar melunak dan mau melaksanakan rencana relokasi warga Gaza. Mesir saat ini sedang melakukan reformasi militer dan intelijen di bawah Assisi, untuk persiapan eskalasi konflik dimasa masa mendatang.
Begitu juga Yordania, pemerintah AS mengirim banyak uang dan senjata untuk memperkuat psosisi Raja Abdullah sebagai sekutu paling dekat Israel sebagai tetangga.
AS memoderniasai militer Yordania, mensuplai senjata canggih sampai rudal rudal anti misil ke Yordania sebagai dukungan atas pemerintahan Raja Abdullah dalam kerangka apa yang disebut AS sebagai kerjasama melawan hegemoni Iran di kawasan.
Itulah apa yang dimaksud dalam pernyataan Trump, bawa selama ini AS sudah banyak membantu Mesir dan Yordania, dan saatnya kini mereka membalas budi kepada AS dengan kompensasi menerima relokasi warga Gaza ke tanah mereka.
Negara negara yang hari ini serius menolak relokasi warga gaza keluar negeri hanya Turki, Iran, Indonesia, Qatar, Rusia dan China, selain itu juga mayoritas negara negara global south lainnya yang tidak punya kekuatan besar melawan kemauan AS dan Israel.
Sedangkan mayoritas negara negara arab yang memiliki pengaruh di kawasan seperti Arab Saudi pada dasarnya tidak menolak hal ini, Arab Saudi hanya memainkan gimmick politik seolah menolak proyek Trump dan Netanyahu, Arab Saudi terus menerus melakukan pencitraan media seolah membela Palestina.
Tapi sejatinya Saudi mendukung semua upaya membasmi Gaza dan Hamas, karena dianggap sebagai “Obstacle Geopolitik” bagi kerajaan kerjaan monarki arab dalam jangka panjang.
Jika kita melihat data data kerjasama Arab Saudi dengan Israel atau AS yang terus meningkat, Saudi hari ini adalah sebagai negara besar di Timur Tengah murni menjadi sekutu utama Israel dan AS, meskipun Saudi belum berani vulgar membuka kedutaan besar di Tel Aviv atau Yerussalem.
Di lain sisi, Turki dan Iran yang merupakan dua pemain penting Geopolitik regional yang menjadi rival berat Israel, hari ini sedang mengalami masalah akut di dalam negeri.
Iran sedang dalam posisi lemah setelah perang 15 bulan antara semua proxy nya dengan Israel, terbunuhnya Presiden Iran, hancurnya Hizbullah, tumbangnya pemerintahan Assad di suriah, melemahnya cengkaman Garda revolusi islam iran di selurub Timur Tengah, adalah indikator dimana Iran saat ini harus fokus konsolidasi dan rebuilding suprastruktur di dalam negeri.
Sedangkan pemerintahan Erdogan di Turki juga dalam kondisi sempoyongan dari sisi Ekonomi, kekalahan partai AKP dalam Pilkada serentak dalam pemilu terakhir, dan lemahnya kekuatan koalisi Erdogan di parleman juga di pemerintahan ekssekutif.
Erdogan dipaksa harus mengambil langkah langkah Relalistis, karena pemilu 2028 nanti bukan pemilu yang mudan bagi Erdogan dan AKP, ini adalah pemilu pertama sejak Erdogan naik tahta 2002 lalu dimana Erdogan tidak boleh lagi mencalonkan diri karena pembatasan konstitusi.
Hal lain lagi, Partai Oposisi Kemalis di Turki hari ini adalah Partai de jure sebagai partai terbesar di Turki mengalahkan dominasi partai AKP yang sudah bertengger di puncak kekuasaan lebih dari dua dekade.
PR Turki diluar negeri juga tidak kecil, terutama setelah pemerintahan Assad tumbang di Suriah, Turki harus memainkan peran yang hati hati dalam misinya melawan dominasi Israel dan AS di Suriah saat ini pasca Bashar Assad lengser.
Suriah penting bagi Turki, karena selain isu pemberontakan kurdi PKK YPG PYD, Turki juga selama ini adalah tuan rumah bagi lebih 3 juta pengungsi Suriah yang lari ke Turki untuk menghindari genosida pemerintahan Assad. hal hal seperti ini sangat menyita energi Turki dan akan melemahkan perannya membantu Palestina dimasa depan.
Narasi narasi relokasi rakyat Gaza ke luar negeri di bawah bayang-bayang Trump dan Netanyahu adalah bagian dari wacana wacana ekstrem dan propaganda AS-Israel terhadap dunia islam.
Langkah ini adalah langkah lanjutan untuk “Proof of Ballon” untuk wacana lanjutan yaitu agenda Timur Tengah baru dan agenda peta baru Palestina yang telah lama dicita citakan Israel.
Dengan dukungan dari Trump, Netanyahu berambisi ingin menyelesaikan masalah Palestina terutama di Gaza agar serangan seperti 7 Oktober 2023 lalu tidak terulang lagi selamanya terhadap Israel, karena Gaza adalah inti masalah Palestina selama ini yang menjadi obstacle geopolitik bagi seluruh kawasan Timur Tengah dan Israel interest. Narasi narasi ini terus di dengungkan untuk melihat reaksi dunia sebelum Trump mengeksekus pelan pelan selama 4 tahun masa jabatannya nanti.
Sikap Indonesia dalam hal ini tentu harus jelas, untuk terus melakukan konsolidasi Global terutama ke negara negara muslim dan global south untuk terus menekan Israel dan AS agar tidak bisa mengeksekusi agenda agenda ekstrem geopolitik semacam ini.
Indonesia harus berdiplomasi langsung ke Mesir dan Yordania untuk meyakinkan mereka untuk menolak proposal Trump dan Netanyahu, kita juga perlu mengajak Iran, Turki, Qatar, Arab Saudi dll untuk memastikan posisi menolak relokasi warga Gaza dan langkah take over Gaza oleh Israel -AS.
Indonesia juga perlu meminta PBB dan komunitas Internasional lainnya untuk terus mengutuk rencana rencana yang akan dilakukan Israel -AS dalam konteks relokasi warga Gaza dan Palestina. Hal ini senada dengan apa yang pernah digaungkan oleh Presiden Prabowo dalam KTT Gaza Summit, KTT Kairo, Forum Shangrila Dialogue, dan apa yang pernah dipaparkan di depan CSIS di Jakarta sebelum pilpres 2024 lalu.
Agenda agenda Trump dan Netanyahu hanya akan bisa dibendung dengan tekanan Global dan pendekatan Geopolitik. Tanpa itu semua, maka semua agenda ini akan di eksekusi, baik dalam terang maupun dalam gelap. Indonesia harus menginisiasi tekanan global terhadap israel secara kontinyu, dan membuka jalan diplomasi baru bagi upaya advokasi konflik klasik di Palestina ini.
Diplomasi Indonesia perlu terus ditingkatkan secara maksimal untuk memastikan semua agenda ini tidak bisa terlaksana minimal empat tahun kedepan di era Trump. Indonesia diharapkan terus menjadi kolaborator utama global dalam misi mendukung rakyat Palestina dan Gaza.
Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Prabowo tidak boleh lagi ragu ragu dalam beraksi untuk menghadang agenda agenda gedung putih dan Tel Aviv khusunya dalam isu relokasi rakyat Palestina.
Kita juga perlu mengoreksi keseriusan Indonesia dalam isu isu Luar Negeri, budget yang kecil, program kerja diplomasi yang masih lemah, kapasitas dan agenda diplomasi yang memprihatinkan selama ini,dukungan pemerintah yang lemah terhadap agenda agenda diplomasi yang substansial dan Agenda agenda Foreign Affairs yang juga masih jauh dari harapan. Hal-hal ini nantinya harus dibenahi di era pemerintahan Prabowo.
Indonesia sudah saatnya harus serius dengan isu luar negari dan dengan memenuhi kecakapan SDM SDM Foreign Policy Maker yang mengurus isu isu global kita. Level kita harus sudah naik kelas dan mewakili level populasi sebagai negara muslim terbsesar di dunia, juga sebagai salah satu negara besar di dunia setelah AS, India, dan China.
Perangkat perangkat diplomasi dan narasi narasi Foreign Affairs kita harus naik kelas untuk menyipaki “Global Uncertainty” saat ini yang akan terus berlangsung. bukan hanya isu Israel-Palestina saja, tapi semua isu global saat ini yang berpotensi mengganggu National Interest kita di masa depan.
Pada akhirnya, yang kuatlah yang bisa berbuat banyak dan berbicara banyak di tataran global dan mampu mengurus semua isu geopolitik penting dan terus bisa berselancar di tengah turbulensi yang kencang. Tidak akan ada negara yang bisa survive dimasa depan di tengah Global Uncertainty saat ini di tengah persaingan Great Power yang semakin tajam, baik persaingan China-AS, AS-Rusia, dst.
Oleh sebab itu, Indonesia harus menjadi negara kuat dan menjadi salah satu calon Emerging Super Power dimasa mendatang untuk bisa berbicara dan berbuat lebih banyak. Tanpa ada rencan rencan strategis pemerintahan baru saat ini, maka peta baru Indonesia menuju salah satu negara kuat dimasa depan akan tetap buram dan tidak menemukan arah.
Karena Narasi narasi Foreign Policy Indonesia sekarang ditunggu dunia global, ditunggu aksi dan implementasi nyata sebagai kontributor Baru bagi tatanan dunia Multipolar yang sedang berada pada posisi kompleksitas dan multidimensi.[R5]