Faktanesia.id, – Di tengah ambisi besar menuju Indonesia Emas 2045, satu ancaman diam-diam terus menggerogoti masa depan generasi penerus bangsa: rokok.
Simposium bertajuk “Mengawal Generasi Sehat Menuju Indonesia Emas: Memperkuat Lingkungan Tumbuh Kembang Anak melalui Implementasi Kebijakan yang Berpihak pada Anak” yang digelar dalam rangka International Conference on Tobacco or Health (ICTOH) ke-10 di Denpasar, Bali, Selasa (27/5/2025), memunculkan alarm keras terhadap peningkatan perokok usia anak yang kian mengkhawatirkan.
Laporan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengungkapkan fakta mencengangkan: 97% anak mengaku pernah melihat iklan rokok, 73% di antaranya melihat iklan tersebut di dekat sekolah. Bahkan, 65% anak merasa kecewa saat idola mereka mempromosikan rokok.
Fakta tersebut diperkuat oleh polling terhadap 270 remaja dari berbagai daerah seperti Batam, Bangka Belitung, NTT, Sulawesi Utara, Jakarta, dan Majalengka.
“Anak-anak dan remaja saat ini bukan hanya korban, tetapi juga target utama industri rokok,” ujar Kak Seto Mulyadi, Ketua Umum LPAI, dalam pernyataannya.
Ia menekankan bahwa promosi rokok kian masif lewat media sosial, billboard, bahkan acara musik dan olahraga yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak.
Peringatan keras juga datang dari dr. Ni Luh Sri Apsari, Sp.A., pakar dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Menurutnya, rokok, baik konvensional maupun elektrik, mengandung zat berbahaya seperti nikotin, tar, logam berat, hingga formaldehida yang dapat memicu gangguan paru, stunting, hingga kerusakan otak pada anak-anak.
“Rokok elektrik bahkan menjadi ‘jembatan’ menuju kecanduan rokok konvensional, dengan risiko adiksi yang lebih cepat dan dampak jangka panjang yang belum sepenuhnya diketahui,” ungkapnya.
Regulasi Sudah Ada, Tapi Implementasi Lemah
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai regulasi untuk melindungi anak dari rokok, mulai dari Undang-Undang Perlindungan Anak, UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, hingga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Namun, lemahnya pengawasan dan implementasi di lapangan menjadikan iklan, promosi, dan sponsor rokok tetap bebas berkeliaran.
Ni Luh Gede Yustini, Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, menekankan bahwa penegakan hukum bukan sekadar soal aturan tertulis, tetapi juga soal struktur dan budaya hukum yang mendukung.
“Anak-anak meniru apa yang dilakukan orang dewasa. Jika orang tua merokok bebas di depan anak, maka itu menjadi pembenaran perilaku,” katanya.
Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk lebih aktif menyediakan layanan berhenti merokok bagi anak-anak, serta menjadikan media digital sebagai kanal edukasi yang efektif.
Yang paling menggugah dari simposium ini adalah suara anak-anak itu sendiri. Ayu Arini Dipta Septina, Duta Anak Nasional 2025 dari TC Warriors LPAI Bali, membawa suara Kongres Anak Indonesia yang tegas:
“Kami memohon kepada pemerintah untuk mengimplementasikan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan larangan iklan rokok secara nyata di lapangan. Kami ingin terbebas dari jeratan asap rokok,” tegas Ayu.
TC Warriors, program pelibatan anak dari LPAI, aktif mengawasi pelaksanaan Perda KTR dan mengadvokasi hak anak melalui edukasi berbasis komunitas.
Temuan mereka menunjukkan bahwa meski pelarangan sudah diatur dalam PP No. 28 Tahun 2024, iklan rokok masih banyak ditemukan di lingkungan anak, bahkan dekat sekolah.
Solusi Keluarga dan Komunitas: SABAR dan GEMBIRA
Sebagai respons atas kegentingan ini, Kak Seto memperkenalkan dua pendekatan komunitas: Keluarga SABAR (Sadar Bahaya Rokok) dan pendekatan pengasuhan GEMBIRA (Gerak, Emosi Cerdas, Makan Sehat, Beribadah, Istirahat, Ramah, dan Aktif Berkarya).
“Kita harus menjadikan anak sebagai pelopor sekaligus pelindung bagi teman-temannya. Edukasi sejak dini adalah kunci,” ujar Kak Seto.
Langkah-langkah ini bukan hanya upaya reaktif, melainkan strategi preventif untuk menciptakan lingkungan sehat dan aman bagi tumbuh kembang anak.
Menuju Generasi Emas Tanpa Rokok
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa dari 70 juta perokok aktif di Indonesia, sekitar 7,4% berusia antara 10 hingga 18 tahun.
Lebih mengejutkan lagi, kelompok usia 15–19 tahun merupakan perokok terbanyak (56,5%). Angka tersebut bertolak belakang dengan target RPJMN 2020–2024 yang menetapkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7%.
Simposium ini mengingatkan bahwa keberhasilan Indonesia Emas tak akan tercapai jika generasi mudanya masih terjerat adiksi tembakau.
Dibutuhkan sinergi regulasi yang tegas, penegakan hukum yang nyata, dan keterlibatan aktif dari masyarakat, media, dan keluarga.
Karena masa depan Indonesia, sehat atau sakit, ditentukan oleh langkah hari ini.[R5]