Oleh | Rusman Madjulekka | citizen journalism
KADANG orang harus dipaksa untuk bisa sukses. Orang sukses pun sering tidak sengaja berbuat untuk sukses.
Tahu-tahu sekolahnya mencatatkan sejarah. Debut perdana. Langsung juara. Padahal baru sekitar dua bulan dibentuk. Pertama ikut lomba festival. Para guru dan siswanya bahkan tidak tahu apa dan bagaimana itu teater. Tapi nekad mendaftar festival teater.
Kerja kolaboratif memunculkan nama mereka tercantum dalam pembacaan hasil keputusan dewan juri yang diketuai Asia Ramli Prapanca. Juara umum Festival Teater Berbahasa Daerah antar SMA/SMK Se-Sulselbar (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat): “Teater SATU Makassar” dari SMA Negeri 1 Makassar.
Festival teater bergengsi antar pelajar SMA/SMK itu dilaksanakan Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan yang juga membawahi Sulawesi Barat. Ada sepuluh Balai Bahasa di Indonesia menggelar event serupa di wilayahnya masing-masing. Instansi ini adalah unit pelaksana teknis (UPT) berada di bawah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Republik Indonesia. Festivalnya digelar pada 13-15 Desember 2024 di sebuah hotel bintang empat. Maklum kota Makassar belum punya gedung kesenian yang layak dan repsentatif seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yoyakarta dan Surabaya.
Sebelum dan sesudah “Teater SATU” Makassar tampil di festival itu, reaksi pertama negatif dan dianggap peserta underdog. Tak diperhitungkan dan menjadi favorit. Pun saat keluar sebagai jawara. Mereka tetap diisukan mencapainya dengan cara-cara curang.
Apalagi nama “Teater SATU” bukan siapa-siapa. Belum dikenal. Masih anyar. Masih anak bawang. Tak seperti, misalnya “Teater TIGA”-nya SMA Negeri 3 Makassar, sebuah “teater sekolahan” yang orang sudah dikenal sejak lama di Sulsel.
Mengatasi “ketidak-terkenalan” itu, manajemen sekolah memanfaatkan strategi kehumasan (public relations) guna membuka mata publik. Termasuk segera membuat akun media sosial di platform media sosial yang digemari publik, seperti Instagram dan Tik-Tok atau pertautan koresponden antar personal melalui Whatsapp Group.
Saya pun mengontak Kepala Sekolah SMA 1 Makassar, Sulihin Mustafa. Ia menceritakan ide awal dan proses yang mereka jalani hingga puncaknya pada malam 15 Desember 2024 lalu; Teater SATU Makassar keluar sebagai kampiun.
Barulah orang tahu Teater SATU Makassar melakukan cara dan strategi yang mungkin saja belum biasa atau tak lazim dilakukan peserta lain: kolaborasi! Dengan pemangku kepentingan yang berpengalaman.
Rupanya itu saja tak cukup. “Harus ditambah konsisten,” tegas Sulihin. Ia sengaja mengikatkan diri dengan komitmen itu bersama para guru dan siswanya. Karena ia meyakini, orang yang biasa terikat dengan komitmen akan memperoleh kepercayaan. Dan kepercayaan adalah modal utama hidup. Bukan materi. uang.
Kembali ke kisah awal tadi, suatu ketika, Kepsek Sulihin menerima laporan dari guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan kesenian. Bahwa mereka telah mengisi aplikasi sebagai peserta festival teater antar SMA/SMK Se-Sulselbar. Formatnya menggunakan bahasa daerah tradisional setempat. Bahasa bugis, makassar, toraja dan mandar.
“Waduh, waktu makin dekat. Belum ada persiapan, kami juga belum ada yang paham betul soal teater,” katanya dalam hati. Ia diam. Raut wajahnya serius. Nampak sedang berpikir keras. Di balik kesulitan ada udang. Ups…tiba-tiba dia ingat. Sebelumnya pernah jadi Wakil Kepsek di SMA 3 Makassar dengan “Teater TIGA”-nya yang sudah malang melintang.
Sulihin berpikir inilah momentum untuk menancapkan tonggak awal pembentukan unit kegiatan teater di sekolahnya. Ia memadukan critical thinking dan creative thinking. Maka bergegas ia kontak dan minta bantuan salah satu pentolan eks “Teater TIGA” yang kini berdomisili di Jakarta.
Namanya Ilham Anwar. Orang Bugis Soppeng yang biasa dipanggil Ilo. Ia juga aktivis teater dan tari yang aktif di “Teater Kampus” di Universitas Hasanuddin (Unhas) tempatnya kuliah tahun 90-an. Juga aktif di beberapa sanggar seni luar kampus, seperti Sanggar Merah Putih Makassar dan YAMA (Yayasan Anging Mammiri) Sulsel.
Awalnya Ilo pun ragu. Ia bingung harus mulai dari mana. Semua serba baru. Learning by doing. Lama kelamaan keraguan itu kian pupus. Ilo menceritakan proses kreatif lahirnya “Teater SATU” Makassar. Sekali ia tatap muka dengan para guru dan siswa calon pemain yang terpilih melalui seleksi internal. Selebihnya ia asistensi secara virtual meeting lewat fasilitas komunikasi online.
“Jauh lebih mudah mengajari seni peran pada anak yang baru dan masih polos ketimbang yang sudah terbentuk karakternya,” kata Ilo dalam obrolan ringan, sabtu (14/12) malam di kedai kopi Jl.Wahid Hasyim, Gondangdia Menteng, Jakarta Pusat.
Kelompok teater anyar ini diperkuat oleh komitmen kuat delapan siswa(i) berbakat: AN. Nayswarah, Abdullah Muwahhid, Aiko Tuffiah Dzakirah, Adinda Aurelya, Aldy Fairuz, Muhammad Alfian, Zaki Gian Sarwika, dan Luthfiah Nurul Izzah Yamani.
Pendukung lainnya: M. Afdal Fadli (penata artistik), Nurhayati Najamuddin (penata rias dan busana), Erwin Sulaiman (penata musik), Abdi Bashit (seorang maestro musik dan tari), dan Basukila UQ Daeng Nyonyo (sutradara) yang sepenuhnya pendidik dan tenaga kependidikan, serta pelatih/fasilitator bakat minat teater, musik, dan tari di SMA Negeri 1 Makassar.
Mereka melakukan banyak hal yang seharusnya dilakukan untuk berpentas optimal. Membedah apa yang jadi kekurangan untuk ditutupi dan memperbesar potensi keunggulan yang mereka punyai. Melalui pendekatan belajar yang cermat yang dipandu oleh fasilitator/pelatih ektrakurikuler seni teater dan musik yang direkrut secara resmi sebagai tenaga internal oleh manajemen sekolah.
Kalau mau jujur, sebenarnya setelah melakukan proses penciptaan karya yang relatif siap dipentaskan sebagai peserta festival, Teater SATU Makassar telah berhasil membentuk konfidensi-nya.
Mengapa? Lantaran sudah terlebih dulu menampilkan karya mereka melalui rekaman program Gelar Seni TVRI Sulsel. Momen itulah yang membuat mereka kian mantap menjejakkan tapak kiprahnya di festival teater.
Bahkan, selain menghadapi festival, mereka telah merencanakan untuk melakukan pentas keliling (tour show) di beberapa kota besar di Indonesia untuk mengenalkan kisah “Sureq Galigo” yang mereka bawakan. Hal itu membuat mereka percaya diri memasuki arena festival dengan tanpa beban dan pretensi pencapaian untuk jadi juara.
“Yang bikin saya optimis karena saya melihat ada komitmen yang kuat mulai dari semua unsur yang terlibat, termasuk pimpinan sampai ke guru pembinanya. Bahkan Pak Kepsek Sulihin sampai terjun langsung bertindak sebagai produser pertunjukan,” ujar Ilo.
“Soal penamaan kelompok teater?”tanya saya.
Menurut Ilo, awalnya ada dua opsi nama yang diusulkan. Pertama “Puncak” dengan alasan lokasi sekolahnya berada di jalan Gunung Bawakaraeng. Nama kedua, “Satu” diambil dari nama sekolahnya. Sama seperti “Teater Tiga” mengambil nama sekolah SMA 3 Makassar.
Akhirnya disepakati memakai ”Teater SATU” dengan hastag #Puncak. Makna filosofinya, kelompok teater anak SMA 1 Makassar yang berada di puncak prestasi. Itu menjadi motivasi tersendiri yang “menghipnotis” para aktor membentuk percaya diri.
Dalam festival teater yang diikuti 19 kelompok teater SMA/SMK Se-Sulselbar 2024, anak-anak “Teater SATU” Makassar menampilkan karya berjudul “Galigo, Nawanawana Sawerigading”, dengan menggunakan bahasa Bugis klasik. Yang inspirasinya bersumber dari mitologi Bugis Sureq Galigo, yang lebih populer dengan sebutan epos “La Galigo”.
Warisan budaya Indonesia yang berasal dari Sulsel tersebut dikenal sebagai karya sastra mitologi terpanjang di dunia. Dan pada 2011 telah ditetapkan sebagai “Warisan Budaya Dunia” oleh UNESCO (United Nations of Education, Science, and Culture Organization), organisasi di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi pendidikan, sains, dan kebudayaan.
Debut perdana berbuah manis yang ditorehkan para punggawa “Teater SATU” Makassar semacam oase ditengah kepungan budaya asing dan gaya hidup hedonisme yang melanda generasi Z.
Bahkan yang istimewanya, menurut saya, oase bernama Andi Nasyah Nayswarah dkk itu ibarat pelangi. Tak satu pun asli orang Bugis. Semuanya campuran. Dari latarbelakang keluarga orang tuanya. Ada Makassar tulen, Bugis-Jawa, Bugis-Buton, dan lainnya.