Faktanesia.id, – Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia meluncurkan Panduan Ajaran Agama dan Buku Rumah Ibadah melalui sebuah lokakarya lintas iman yang digelar secara hybrid di Kantor Yayasan Econusa, Jakarta Pusat, serta melalui Zoom, Ahad (28/9/2025).
Kegiatan tersebut menghadirkan 69 tokoh agama dari Nahdlatul Ulama (NU), terdiri atas 30 peserta luring dan 39 daring, guna memperkuat peran rumah ibadah dalam perlindungan hutan tropis serta pengakuan hak masyarakat adat.
Advisory Council IRI Indonesia dari NU, M. Ali Yusuf, menegaskan bahwa IRI sejak 2017 hadir sebagai gerakan lintas agama untuk merespons krisis hutan tropis.
“Hutan tropis tidak hanya paru-paru dunia, tetapi juga sumber kehidupan sosial dan budaya. Peran tokoh agama sangat penting dalam membangun kesadaran dan aksi kolektif untuk menjaganya,” ujarnya.
Ali Yusuf sekaligus membuka kegiatan dengan penyerahan simbolik dua buku panduan IRI dan dua buku khotbah karya tokoh NU yang difasilitasi IRI Indonesia.
Fasilitator Nasional IRI Indonesia, Dr. Hayu Prabowo, menekankan pentingnya suara moral dalam gerakan penyelamatan lingkungan.
“Sains memberi kita data dan teknologi, tapi untuk menggerakkan masyarakat, kita butuh kekuatan nilai-nilai agama,” katanya.
Ia menyoroti lebih dari 95 persen bencana di Indonesia berkaitan dengan krisis iklim yang diperburuk deforestasi, sehingga diperlukan kebijakan berbasis sains dan etika spiritual.
Dalam dialog strategis, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU K.H. Mahbub Ma’afi menegaskan pandangan fiqh bahwa hutan adalah harta mubah yang wajib dijaga. Ia juga menyoroti fatwa NU terkait perdagangan karbon sebagai kontribusi nyata umat Islam dalam menghadapi krisis iklim.
Sementara itu, Dr. H. Abdul Jamil Wahab, salah satu penulis panduan, menekankan pentingnya ekoteologi Islam yang terintegrasi dalam kebijakan publik, kurikulum pesantren, dan layanan keagamaan.
“Panduan ini menjadi upaya meneguhkan rumah ibadah sebagai pusat edukasi ekologis,” katanya.
Deputi Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi, mengingatkan bahwa masyarakat adat menghadapi ancaman serius berupa konflik agraria, kriminalisasi, hingga perampasan ruang hidup.
“RUU Masyarakat Adat sangat mendesak sebagai instrumen hukum untuk memastikan perlindungan dan keadilan ekologis,” tegasnya.
Setelah sesi pleno dan diskusi kelompok tematik, peserta merumuskan strategi implementasi panduan, termasuk penyusunan silabus dan modul pelatihan, aktivasi masjid sebagai pusat edukasi lingkungan, serta advokasi kebijakan. Proses ini difasilitasi oleh Dr. Mansur, Laily Nur Farida, dan Abdul Ghofar.
Pleno penutup yang dipandu Dr. H. M. Wahib menghasilkan peta jalan integrasi panduan ke dalam program prioritas organisasi, mulai dari khutbah, pendidikan, hingga penguatan komunitas. Para peserta juga menyatakan komitmen mengawal distribusi dan pemanfaatan panduan secara luas.
Lokakarya ini menegaskan bahwa penyelamatan hutan bukan hanya isu ekologis, tetapi juga krisis moral dan spiritual. Dengan hilangnya lebih dari 10 juta hektar hutan primer dalam dua dekade terakhir, IRI Indonesia berharap rumah ibadah dan tokoh agama menjadi garda terdepan menjaga kelestarian hutan tropis serta memperjuangkan keadilan ekologis bagi seluruh makhluk hidup.[]