faktanesia.id – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW telah lama menggunakan pendekatan perjanjian sebagai strategi penyelesaian konflik dan peperangan.
Hal ini disampaikan Gus Yahya saat menjadi pembicara kunci dalam Sosialisasi Konferensi International Humanitarian Islam di Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (24/10/2024).
Menurutnya, Rasulullah telah menunjukkan upaya awal dalam mencari solusi damai melalui berbagai perjanjian, seperti Piagam Madinah dan Perjanjian Hudaibiyah, yang bertujuan memperkecil potensi konflik di tengah masyarakat yang beragam.
“Rasulullah SAW sebetulnya sudah sangat awal berusaha, kita tahu dari catatan-catatan sunnah Rasulullah SAW, percobaan-percobaan untuk membuat solusi konflik melalui perjanjian,” ujarnya
Gus Yahya menjelaskan beberapa perjanjian yang diinisiasi Rasulullah SAW dalam memperkecil potensi terjadinya konflik.
“Ketika Kanjeng Nabi pertama kali tiba di Madinah, Rasulullah tahu bahwa di sana banyak kabilah-kabilah yang sebelumnya secara rutin berperang satu sama lain. Rasulullah berusaha membuat perjanjian yang sekarang kita kenal sebagai Piagam Madinah,” tuturnya.
Gus Yahya mengisahkan, “ketika kanjeng Nabi pertama kali mengajak para sahabat umroh dan ada penolakan dari orang-orang Mekah, Kanjeng Nabi berusaha menyelesaikan benturan kepentingan itu dengan perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyah.”
Melalui dua contoh kisah tersebut dapat tergambar jelas konsep Islam Rahmatan lil Alamin yang tertuang dalam perjanjian. Artinya, Islam menganut ajaran yang menghargai batasan yang dimiliki oleh pihak atau kepercayaan tertentu untuk hidup saling berdampingan dalam perdamaian.
Pada awalnya, antara satu peradaban dengan peradaban lain tidak pernah bersinggungan satu sama lain. Kemudian, terjadilah pertemuan peradaban yang menimbulkan gesekan. Satu-satunya cara yang dikenal dalam pertemuan antar peradaban itu adalah saling menaklukan.
Menurut Gus Yahya nyaris tidak ada cara untuk menyelesaikan konflik karena perbenturan antar peradaban hingga menjadi permasalahan global yang berkembang saat ini. Berdasarkan hal tersebut, Gus Yahya memaparkan bahwa tidak semua peperangan dilandasi oleh agama tetapi justru oleh hal yang sama sekali di luar agama.
“Kalau kita lihat secara keseluruhan lanskap pertarungan antar agama ini sebetulnya tidak didasari oleh agama tetapi malah didasari dengan embel-embel.masalah yang berkaitan dengan teritori dan sumber daya-sumber daya serta persepsi menganggap pihak lain sebagai ancaman,” ujarnya.
Oleh karena itu gagasan Humanitarian Islam dibentuk sebagai upaya perwujudan perdamaian berdasarkan prinsip Al-islam lil Insaniyah (Islam untuk Kemanusiaan). Gagasan ini menghadirkan agama sebagai solusi atas konflik yang terjadi, bukan sebagai pemicu perpecahan.
“Saya kira ini merupakan hal yang masih perlu kita kaji kembali untuk inisiatif perdamaian. Tidak semua konflik yang terjadi itu karena agama,” kata Gus Yahya.
Selain itu, Humanitarian Islam merupakan bentuk kelanjutan dari ide serta forum yang sudah digagas PBNU sebelumnya. Konferensi International Humanitarian Islam akan melibatkan para akademisi dari Indonesia, Eropa, dan Amerika yang akan menghasilkan buku berisi pemikiran untuk dipromosikan secara Global. Sosialisasi ini dihadiri oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag RI Kamaruddin Amin, Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla, H Ahmad Suaedy dan sejumlah akademisi dari IPB Bogor serta nahdliyin.