Oleh | Rusman Madjulekka | citizen journalism
WANITA terpilih kepala daerah memang pintar. Cantik dan kaya itu bonus. Diatas sebagian deretan nama pemenang pilkada serentak di 545 daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia, cantik mengalahkan yang ganteng. Pria tidak selalu diatas.
Tengoklah Verna. Ia baru terpilih sebagai Bupati Poso, Sulawesi Tengah. Tak hanya cantik, juga pintar. Meskipun “dikepung” sengit tiga calon Bupati ganteng yang jadi pesaingnya di Pilkada 27 November 2024. Bahkan isu daur ulang yang dihembuskan tak mempan membendung laju Verna yang berpasangan Suharto Kandar sebagai pemenang.
Sebagaimana rumus baku Pilkada, perolehan suara 52,49% yang didapatkan Verna sesuai prediksi yang dipotret sejumlah lembaga survei. Sebab calon kepala daerah dengan status petahana, apabila angka elektabiltasnya dibawah 50% dianggap gagal. Fakta itu mengisyaratkan program Pemkab Poso dan kerja-kerja politik Verna selama ini berdampak positif bagi masyarakat.
Pesta demokrasi Pilkada 27 November lalu terasa istimewa bagi Verna. Karena selain sebagai pemenang juga hari itu ia juga genap mengulang usianya. Hitung-hitung kado ultah terindah baginya.
Saya ingin tahu banyak tentang wanita ini. Nama lengkapnya: dr.Verna Gladies Merry Inkiriwang. Ia seorang dokter jebolan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Tamat tahun 2008. Pendidikan SD sampai SMA-nya di Manado. Verna pun bekerja di RSUP dr. R. D. Kandou Malalayang Manado.
Verna memang keluarga politikus. Ayahnya, Piet Inkiriwang, Bupati Poso dua periode, 2005-2015. Ia sendiri memulai karir politik pada 2009. Saat itu ia ikut nyaleg. Dari Partai Demokrat dapil Sulawesi Tengah. Saat itu namanya sudah jadi “buah bibir” sebagai peserta Miss Indonesia 2007 mewakili Sulawesi Tengah. Terpilih. Menjadi anggota DPR RI 2009-2014 di Senayan, Jakarta.
Selepas itu, Verna ikut Pilkada Poso. Awalnya gamang. Tapi berkat dukungan moral dari ayahnya (alm) waktu itu, ia berpasangan dengan Yasin Mangun. Ia diterpa kampanye intensif fatwa ulama yang ada di pihak lawannya: wanita tidak boleh jadi pemimpin. Takdir berkata lain. Verna terpilih dan mencatatkan sejarah sebagai wanita pertama yang memimpin kabupaten Poso.
Zaman Verna jadi pimpinan daerah itulah Poso banyak mengalami perubahan. Ibarat istilah dunia media, ia melakukan general check-up. Beberapa “penyakit” birokrasi terdeteksi.
Hasilnya? Tak hanya wajah fisik juga mindset pelaku pemerintahannya yang dulu lamban, tanpa inovasi, kurang kreatif, sudah membaik. Mentalnya ASN-nya lebih melayani. Berbagai penghargaan diraih, laporan keuangannya pun selalu WTP.
Tidak hanya itu yang ingin dia kembalikan. “Saya ingin Poso jadi contoh dan role model dunia,” ujarnya. Yakni jadi daerah unity in diversity yang bangkit dari keterpurukan setelah sempat terkoyak dengan aksi kekerasan berbau sentimen agama dan ras.
“Keberagaman religius dan etnis jangan jadi penghalang, tapi justru jadi modal sosial kita mengejar modernitas,” katanya.
Pun dari Ketua PWI Poso, Rusli Suwandi, saya tahu kondisi Poso sudah aman. Konflik antar agama di Poso sendiri sudah selesai tahun 2007. Sejak ditandatangani nota perdamaian di Malino, Sulawesi Selatan. “So normal….” ujar Rusli singkat.
Untuk mendukung pernyataanya, ia membeberkan beberapa data dan investor yang sudah melirik Poso sebagai pilihan penanaman modalnya. Bahkan sejumlah event dan kegiatan skala regional dan nasional seperti Festival Danau Poso sudah rutin digelar.
Yang juga fenomenal. Dan mendapat sorotan lampu. Saat Verna mengerahkan sejumlah pegawai dari berbagai organisasi perangkat daerah (OPD) ikut bersamanya terjun ke desa. Terutama yang berasal dari instansi/lembaga yang terkait langsung dengan pelayanan publik.
Nama programnya: Bunga Desa. Merupakan akronim dari “Bupati Ngantor di Desa”. Intinya mendekatkan jarak pelayanan dan mendengar aspirasi rakyat. Bukan hanya secara fisik, juga tanpa sekat birokrasi. Menghadirkan aparat pemerintah yang betul-betul sebagai pelayan.Bukan dilayani.
Secara umum, program ini bagian dari tujuh pilar program unggulan yang diusung Pemkab Poso. Yakni Desa Maju, Poso Pintar, Poso Sehat, Poso Sejahtera, Poso Pakaroso, Poso Harmoni dan Tangguh, kemudian Poso Bersinar.
Adapun pelayanan publik yang dihadirkan macam-macam. Ada pelayanan KTP,KK, KIA, akta kelahiran, akta kematian, pelayanan KB, perizinan , perpustakaan keliling, pelatihan pembuatan pupuk, pemeriksaan kesehatan hewan, pelayanan pajak daerah dan lainnya.
Sedangkan pelayanan dari instansi vertikal yang ikut “digandeng” dalam program “Bunga Desa” seperti BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, pajak kendaraan bermotor, perpanjangan SIM, donor darah, sosialisasi narkoba, serta layanan kredit usaha kecil dan mikro dari perbankan.
Dengan “Bunga Desa”, Verna tak sekedar jadi pelayan dan pendengar, tapi melibatkan hatinya. Memberi ruang nyaman dan aman tanpa rasa takut. Kehadirannya memberi pelukan yang tak terlihat. Tak mudah dilupakan. Dirindukan saat-saat tersulit. Juga selalu diingat. Bukan seberapa sering hadirnya “Bunga Desa” yang sekali sebulan, tapi kesan yang ditinggalkan cukup mendalam.
“Bukankah separuh dari kebahagiaan ketika kita mendapati seseorang yang mau mendengarkan keluh kesah kita,” ujarnya.
Saya pun jadi tahu, politik Verna adalah politik bunga. Politik yang memancarkan semerbak cinta dan kasih.